2. Little Thing

224 33 1
                                    

"Apa yang kau lakukan di sini, Binnie?" Yeonjun bertanya, menyeka mata dan pipinya yang basah dengan lengan bajunya. "Kau seharusnya tidak berada di sini."

"Harusnya aku yang bertanya padamu kak." kata Soobin, mengambil langkah ke depan. "Sejak kapan kau di sini? Kupikir kau di Jepang."

Yeonjun menunduk, menatap ke lantai. "Aku di sini baru sebentar kok," akhirnya dia bergumam.

"Sejak kapan?" Soobin menuntut jawaban.

"Sejak musim panas lalu."

Sebuah raut terkesiap menancap di wajah si pewaris muda. "Apa?! Kau di sini hampir setahun penuh? Kemana saja kau kak? Aku belum pernah melihatmu."

"Aku tidak diizinkan meninggalkan rumah," bisik lelaki rubah itu, matanya masih menatap lantai. "Wanita itu yang melarangku."

"Wanita itu?" Soobin mengangkat satu alisnya. "Maksudmu, ibu?"

Yeonjun tidak menjawab pertanyaan itu dan Soobin menghela nafas pelan. Dia terkejut bahwa kakak satu-satunya kembali ke Korea selama hampir satu tahun dan dia bahkan tidak menyadarinya. "Kenapa dia tadi kesini? Jelaskan, dan jangan coba berbohong padaku. Aku sudah melihat bagaimana dia memukulmu."

Keheningan memenuhi ruangan.

"Kak Yeonjun," panggil Soobin. "Lihat aku dan jawab pertanyaanku. Kenapa dia ada di sini?"

"Aku.. aku menjatuhkan vas bunga,"

"Kau menjatuhkan vas?"

Yeonjun mengangguk dan membuat gerakan tangan kecil ke arah area dapur. Soobin mengambil langkah untuk mengintip ke balik dapur di mana vas porselen yang terlihat mahal pecah dan serpihannya memenuhi lantai. "Jadi, kau benar-benar ingin memberitahuku bahwa dia datang ke sini dan memukulmu, karena kau menjatuhkan sebuah vas sialan itu?"

Ketika lelaki mungil itu tetap diam, Soobin menggelengkan kepalanya. "Yeonjun, tolong," katanya. "Apakah dia benar-benar menamparmu karena ini?"

"Dia," Yeonjun memulai. "Dia selalu begitu..."

"Apa?" Soobin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Demi Tuhan, itu hanya vas."

"Vas itu yang mahal dari China." Yeonjun mendongak untuk pertama kalinya setelah beberapa saat. "Tapi tolong, jangan katakan padanya bahwa aku sudah memberitahumu."

"Kenapa? Apa karena dia akan kembali dan memukulmu lagi?"

Mata yang lebih kecil menatap ke lantai lagi.

Soobin kesal, benar-benar kesal. Bukan cuma tentang dia baru tahu bahwa kakak kesayangannya benar-benar tinggal di sebelahnya tanpa dia sadari. Tidak, sekarang dia juga harus mengetahui bahwa ibunya sedang menganiaya kakaknya itu. Dia ingin tahu segalanya tapi dia bisa melihat dan mengatakan bahwa Yeonjun ketakutan, jadi dia menjatuhkannya. "Yah," dia memulai. "Mari kita bersihkan ini dulu ya kak."

Kepala Yeonjun terangkat. "Tidak bin, kau tak perlu membantuku. Aku bisa melakukannya."

"Jangan konyol," Soobin terkekeh. "Kalau bersama-sama, kita bisa selesaikan ini lebih cepat. Dimana sapunya?"

Dengan enggan, Yeonjun pergi untuk mengambilkannya sapu dan pengki. Soobin hampir menganggapnya lucu. Lihatlah bibirnya yang mengerucut mirip bebek itu. Gemas sekali. Bersama dengan sang kakak, dia menyingkirkan pecahan vas. Menyapu lantai, Soobin menatap Yeonjun ketika si rubah itu tiba-tiba meringis kesakitan. "Ada apa kak?"

"Tidak apa-apa," gumam Yeonjun, memegangi tangannya.

Soobin berlutut dan meraih pergelangan tangan yang lebih kecil itu. "Tunjukkan padaku."

Yeonjun telah melukai dirinya sendiri, luka gores yang terlihat agak dalam. Soobin tidak tahu seberapa dalam luka itu, tapi itu mengeluarkan banyak darah. Dia mengambil serbet dari konter dapur dan melilitkannya di tangan Yeonjun. "Kita harus pergi ke rumah sakit. Kalau dibiarkan saja nanti lukamu memburuk."

"Tidak," pekik lelaki mungil itu dan menarik tangannya. "Aku tidak perlu pergi ke rumah sakit. Ini akan segera sembuh kok."

"Yeonjun," suara Soobin turun satu oktaf. "Lukanya cukup dalam, aku yakin itu harus dijahit."

Mata hazel kakaknya dipenuhi air mata. "Tapi.. aku tidak bisa pergi.."

"Kenapa tidak?"

"Karena aku tidak diizinkan pergi. Orang-orang seharusnya tidak melihatku."

Mengeraskan rahangnya, Soobin menelan kemarahan yang muncul dalam dirinya. Dia meraih bahu sang kakak dan menariknya berdiri. "Ini kondisi darurat dan kau akan ikut denganku sekarang. Dimana sepatumu?"

Yang ditanya hanya diam membisu. Soobin menggulirkan netranya ke sekeliling rumah dan menemukan sepasang sepatu kets putih tergeletak di dekat ruang tamu. Sepertinya itu milik si kakak. Ia mengambil sepatu itu dan berlutut, memasangkan dengan telaten sepatu itu ke kaki yang lebih tua. Setelah Yeonjun memakai sepatu, Soobin menyeret yang lebih tua ke rumah utama. "Kumohon, tidak Bin" pinta Yeonjun. "Bagaimana jika dia melihatku?"

Soobin berhenti dan berbalik. "Oke, dengar." dia menatap mata hazel cantik yang sedikit berair. "Aku akan pergi dan mengambil mobil. Kakak tetap di sini dan tunggu aku. Mengerti?"

"Y-ya." Yeonjun mengangguk.

"Bagus," kata Soobin. Tangannya ia bawa ke kepala Yeonjun, mengusap pucuknya pelan. "Aku akan segera kembali."

Dengan langkah cepat, Soobin pergi untuk mengambil kunci mobilnya. Di tengah jalan, dia kebetulan bertemu dengan orang tuanya. "Soobin, putraku." ibunya tersenyum dan Soobin memiliki keinginan untuk meninju wajah wanita peruh baya itu. "Dari mana saja kau? Ibu sudah mencarimu."

"Aku di luar, mencari udara segar." jawab Soobin singkat. "Sekarang aku harus pergi ke suatu tempat."

"Tapi bagaimana dengan pestanya?"

Soobin mengabaikan panggilan sang ibu dan pergi untuk mengambil kuncinya. Untuk sesaat, saat dia perlahan-lahan menyusuri jalan menuju gerbang, dia pikir Yeonjun telah pergi tapi kemudian dia melihat kakaknya berdiri di antara pepohonan, bersembunyi di balik bayangan mereka.

"Aku tidak harus pergi ke rumah sakit." kata-kata itu terdengar seperti bisikan dan Soobin menghela nafas pelan sambil mengintip Yeonjun yang memegangi serbet yang sudah basah di sekitar tangannya. "Aku tidak akan mendiskusikan ini denganmu." katanya kepada yang lebih tua.

"Tapi Bin-" Yeonjun memulai. "Aku tidak punya uang untuk ke rumah sakit."

Soobin mengerutkan kening. "Kau tidak perlu pikirkan itu kak, aku akan membayarnya, jangan khawatir."

"Tapi aku tidak bisa membayarmu kembali."

"Choi Yeonjun," si rubah tersentak ketika namanya disebut. "Aku baru saja memberitahumu untuk tidak khawatir tentang itu. Aku akan membayar dan kau tidak perlu merasa berhutang, oke?"

Yeonjun hanya menganggukkan kepalanya, matanya fokus pada tangan yang terbalur serbet basah. Tanpa disadari, bibirnya membentuk sebuah garis lengkung nan indah. Oh, dan jangan lupakan sensasi aneh seakan ada banyak kupu-kupu beterbangan di perutnya.




TBC




Vote komen yuk :)

ClandestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang