5. Agreement

179 27 0
                                    



Soobin hanya menundukkan kepalanya sedikit, memutar matanya begitu ayahnya menghilang dari pandangan. "Bajingan," umpatnya pelan. Jelas bahwa ayahnya juga tahu bahwa Yeonjun ada di sini dan Soobin yakin dia juga tahu bagaimana ibunya memperlakukan sang putra sulung.

Setelah sarapan kilatnya, Soobin bersiap-siap meninggalkan mansion. Janji acara yang ia sebutkan di depan ayahnya sebenarnya bohong belaka. Soobin hanya butuh alasan untuk pergi ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter yang merawat Yeonjun. Untungnya, dokter itu bisa bertemu dengannya.

"Terima kasih, Dokter Nam," kata Soobin sambil membungkuk. "Saya yakin Anda pasti sibuk dan punya banyak agenda penting lainnya."

"Tidak apa-apa," kata Dokter Nam sambil tersenyum. "Aku senang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan seseorang tentang kondisi Yeonjun."

"Yah," Soobin memulai. "Anda pasti tahu kalau saya baru tahu tentang asma dan aritmianya. Kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu."

"Kau bilang kau saudaranya, kan?"

"Ya," Soobin mengangguk. "Tapi Yeonjun menghabiskan tahun-tahun terakhir di Jepang, jadi kami tidak pernah bertemu lagi."

"Ya, aku tahu." kata Dokter Nam. "Aku mendapat laporan pasien dari rumah sakit tempat Yeonjun dirawat saat itu. Kondisi Yeonjun memburuk beberapa tahun terakhir, aku khawatir, sekaligus kesal."

"Kecewa?" tanya Soobin sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Ya," kata Dokter Nam dan mengangguk tegas. "Kau harus tahu Soobin, kakakmu mengalami tiga kali serangan asma parah setahun terakhir."

"Tiga? Tapi Yeonjun bilang padaku dua."

"Dua kali di Jepang, itu sebabnya dia harus meninggalkan kampus. Pihak kampus tidak dapat menanggung tanggung jawab itu, terutama ketika mahasiswa tersebut tidak mengontak orang tuanya," Soobin tahu bahwa dokter paruh baya itu marah. Telinganya merah dan kelopak mata kanannya berkedut sesekali. "Serangan asma ketiga Yeonjun terjadi dua bulan lalu."

Pria muda itu tersentak. "Dua bulan yang lalu?"

"Ya," Dokter Nam mengangguk. "Tapi aku bersyukur dia selamat. Dia hampir mati lemas."

"Ma-mati?" Soobin menelan ludah dengan susah payah. "Dokter, apa yang sebenarnya terjadi ketika Yeonjun terkena serangan asma seperti itu?"

"Sebenarnya, kombinasi asma dan aritmianya yang sangat berbahaya," dokter mulai menjelaskan dan bersandar ke kursinya. "Asma bisa dipicu oleh banyak hal, terutama oleh infeksi, aktivitas fisik dan tekanan mental. Kita tahu bahwa ketiga serangan asma yang mengancam nyawa Yeonjun bukan disebabkan oleh infeksi."

"Tekanan mental?"

Dokter Nam mengangguk. "Yeonjun tidak ingin memberitahuku apa yang membuatnya tertekan atau apa yang mungkin dia takuti, tetapi itulah yang menyebabkan serangannya. Begitu dia berada dalam situasi yang membuatnya stres, aritmianya terjadi dan menyebabkan sesak napas dan pusing. Itulah yang menyebabkan serangan asma."

"Apa hal terburuk yang bisa terjadi?"

"Kematian," kata dokter paruh baya itu datar. "Kematian karena henti jantung, infark miokard, emboli paru, mati lemas. Semua penyebab kematian jika tidak ditangani tepat waktu."

Soobin menarik napas dalam-dalam dan menahannya selama beberapa detik sebelum dia membiarkan udara melewati bibirnya. "Tapi obat dan semprotan asma bisa membantunya?"

"Ya, sedikit." dokter itu mengangguk. "Obat untuk aritmia bisa mengatur detak jantung dan membantu jika terjadi asma untuk menjaga agar jantung tetap berdetak kencang. Dan semprotan asma adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh semua penderita asma."

ClandestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang