3. Sick

185 31 5
                                    


Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit terasa hening. Keheningan yang mengganggu benar-benar mengganggu Soobin. Dia punya begitu banyak pertanyaan, tetapi dia tahu itu akan membuat kakaknya kewalahan dan ketakutan jika dia menanyakannya sekarang, jadi dia memutuskan tetap diam.

Ruang gawat darurat malam itu cukup ramai, penuh sesak dengan orang-orang dari segala usia dan Soobin telah mempersiapkan mentalnya untuk menghabiskan sepanjang malam di sana. Tetapi berkat kekuasaannya, mereka lebih mendahulukan Yeonjun.

Luka di telapak tangan kakaknya sama buruknya dengan yang diduga Soobin dan harus dijahit. Dan saat luka Yeonjun sedang dirawat, Soobin mengurus administrasinya. Ketika dia kembali dari meja resepsionis dan baru akan mendorong pintu yang sedikit terbuka ke ruang perawatan, dia kebetulan mendengar percakapan antara dokter dan sang kakak. "Kau sudah lama tidak kesini, Yeonjun."

Bingung karena dokter itu jelas mengenal Yeonjun. Soobin mengerutkan kening dan mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. "Aku sudah mencoba menelepon ibumu tapi aku tidak bisa menghubunginya," dokter itu menghela nafas keras. "Yeonjun, kau membutuhkan obat-obatan ini. Terutama inhaler."

"Aku tahu," Soobin mendengar kakaknya berbisik. Dia menelan ludah dan menahan napas sejenak. Yeonjun menderita asma? Dan tentang obat apa yang dibicarakan dokter itu? Apa Yeonjun sakit? Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab berkecamuk di kepalanya. Tapi Soobin harus menghentikan curi dengarnya ketika seorang perawat datang di belokan lorong. Dia menegakkan punggungnya dan mendorong pintu hingga terbuka. "Jadi, semuanya sudah selesai," dia tersenyum. "Apakah sudah selesai?"

"Ya, kita sudah selesai." kata dokter itu, membalas senyumannya. "Aku telah membuat empat jahitan. Benangnya bisa dilepas seminggu lagi."

Soobin mengangguk dan menatap Yeonjun. "Baiklah," katanya. "Ada lagi yang perlu kita diskusikan?"

"Tidak," kata pria berjas putih dan berdiri dari kursinya. "Cobalah untuk tidak terlalu banyak menggerakkan tanganmu dan jauhkan dari air, oke?"

Yeonjun mengangguk dan juga bangkit dari tempat duduknya. "Terima kasih dok," katanya dan membungkuk dalam-dalam.

Soobin pun membungkuk pelan. "Terima kasih banyak, dokter. Selamat malam."

"Sama-sama," dokter itu tersenyum.


.

.

.


Yeonjun terdiam dalam perjalanan kembali ke mobil dan tidak melihat ke manapun selain tangannya yang diperban. Soobin melirik yang lebih mungil dan kemudian ke arloji di pergelangan tangannya. "Kak," katanya untuk menarik perhatian Yeonjun. "Ini sudah tengah malam, aku sedikit lapar. Mau makan sesuatu?"

Mata Yeonjun melebar dan dia menggelengkan kepalanya. "Tidak," dia hampir serak. "Tidak, aku harus kembali, Bin"

Ketakutan di mata rubah itu membuat Soobin menggigit bibirnya. "Oke, maafkan aku." dia mengangkat alisnya saat Yeonjun tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Huh?"

"Maaf," Yeonjun meminta maaf dan menunduk. "Aku bukan bermaksud menolak. Jika kamu ingin pergi dan makan sesuatu, kamu bisa melakukannya, tentu saja. Aku sangat-"

"Choi Yeonjun."

Yeonjun tersentak ketika ucapannya dipotong.

"Kak, lihat aku." Soobin dengan sabar menunggu kakaknya melihat ke arahnya. Ketika akhirnya dia melakukannya, dia memberinya senyum lembut. "Kamu tidak perlu minta maaf. Dan kamu juga tidak perlu takut padaku. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu, jangan khawatir."

ClandestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang