Prolog

19 2 0
                                    

Awan mendung mengiringi langkah Altair yang berjalan santai menuju pemakaman. Angin sore yang mulai terasa dingin membelai hingga menerbangkan rambut kecoklatannya, beruntung jaket hitam yang menutup seragam kebanggaan SMA-nya menyelamatkan cowok itu dari dinginnya hawa.

Setelah berjalan beberapa saat, iris pekatnya memandang batu nisan bertuliskan 'Rigel Orion Baskala'. Lututnya bersimpuh, ia jatuhkan pelan ransel abu-abu yang bertengger di bahu kanannya. Sesaat, Altair hanya menatap kosong batu nisan sang kakak sulung.

Setiap ia menyambangi makam Rigel pikirannya selalu berbalik pada masa lalu, tak peduli sudah berapa lama kakaknya meninggalkan dunia.

"Abang... ." Panggilnya meskipun Altair tahu hanya akan ada suara hembusan angin yang menerpa tubuhnya, membawa ucapannya entah pergi kemana.

"Udah hampir 5 tahun, ya."

"Abang tau, nggak?" Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersila, matanya menatap lamat batu nisan itu seolah benar-benar ada hadirnya Rigel di sana.
"Sejak Bang Igel gak ada, Bang Eja jadi kayak orang dewasa sekarang."

Iya, Igel dan Eja. Nama itu bukan panggilan kesayangan, tapi memang sebuah kebiasaannya dari sebelum Altair tumbuh dewasa. Menurutnya, ia lebih nyaman memanggil Vega dengan nama Eja. Vega pun memanggil Rigel dengan nama demikian.

"Ya, meskipun dia gak pernah larang Air buat ngelakuin apa yang Air mau."

"Dia nggak pernah ngeluh lagi kayak waktu dia ngeluh ke Abang."

Altair menghela napas pelan, matanya berubah sendu tak lagi menatap batu nisan. Justru melihat Vega bersikap dewasa membuatnya menampung perasaan sedih, karena ia tahu bahwa Vega sudah tak punya lagi sandaran selain Rigel.

Dari dulu hanya Rigel yang paling mengerti bagaimana sulitnya Vega agar bisa mencapai apa yang diinginkan Ayah. Padahal Rigel selalu mengingatkan Vega agar tidak terlalu keras dalam belajar, bahkan ia juga pernah menyuruh Vega untuk menentang apa yang Ayah mau.

"Abang ini udah pinter, jadi kalian nggak usah kebanyakan belajar. Biar Abang aja yang nurutin apa kata Ayah." Ucap Rigel kala itu saat ia melihat Altair mengajak Vega bermain, tetapi Vega enggan meninggalkan buku-bukunya.

Meskipun Vega masih bisa tersenyum dan berkumpul bersama teman-temannya, pemandangan Vega yang selalu berkutat dengan buku-buku tebal didepan meja belajar membuatnya muak. Vega semakin memadatkan waktu belajarnya semenjak Rigel tiada.

"Abang... ."

Tanpa sadar ia menjatuhkan cairan bening yang sedari tadi tertampung di pelupuk, Altair menunduk dalam-dalam. Tangannya meremas kuat gundukan tanah berselimut rumput hijau yang terlihat segar. Ia mendongak, Matanya terpejam sejenak meredam sesak yang muncul tiba-tiba sebelum berkata pelan, "kayaknya Air kangen deh sama Abang."

"Baik-baik di sana ya, Bang."

"Air juga baik-baik kok di sini." Punggung tangannya mengusap pelan air mata yang membasahi pipi.

Kedua tangannya terangkat, matanya kembali terpejam. Dalam hati ia merapalkan do'a untuk sang kakak yang membuat air matanya semakin deras. Altair tak mengusapnya sampai ia selesai mendo'akan.

"Air balik dulu, ya."

🌠🌠

hai haai😚
gimana pendapat kalian saat membaca prolog ini?
jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca.
see you next part...💚

Garis PijarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang