Altair mendudukkan dirinya di bangku panjang milik taman, matanya tak alih dari camera DSLR yang ia genggam. Ia berdecak saat merasa salah satu hasil jepretannya tak semaksimal gambar lain yang di ambil.
Altair hanya bisa membuang napas pasrah, padahal gambar ini yang paling ia suka, tapi karena pengaturan manual yang ia pakai kurang fokus, alhasil gambarnya menjadi tak sesuai yang Altair inginkan. Meski kecewa ia tetap meletakkan benda hitam pekat itu di sampingnya dengan hati-hati.
"Padahal bagus tadi, malah blur."Altair mengeluh sejenak, menyenderkan punggungnya dan mendongak menatap langit malam yang terlihat mendung. Awan abu tertangkap jelas oleh iris mata coklat pekat miliknya.
Tengah asik menikmati langit malam, seseorang menepuk ringan pundaknya dengan tiba-tiba. Perbuatan yang membuat Altair menegakkan badannya karena kaget, ia menoleh kebelakang dan mendongak mendapati cowok berparas mirip dengannya, Vega.
Cowok itu memutari bangku taman hendak duduk di samping Altair yang langsung mengambil kameranya sebelum Vega menghempaskan diri dan meremukkan benda kesayangannya itu.
"Ngapain, sih. Kaget tau!" Ucapnya ketus, sedikit kesal karena jantungnya berdetak lebih cepat berkat Vega yang mengagetkannya malam-malam begini.
"Lah, lo yang ngapain. Dicariin Bunda, tuh." Jawab Vega, matanya mengarah pada beda hitam mengkilat yang dipegang Altair. Ia menghela napas panjang,"poto-poto mulu kerjaannya."
Altair menatapnya tajam tepat saat Vega membuang muka, "belajar mulu kerjaan Abang!" Lagi-lagi ia berucap ketus.
"Emang seharusnya." Ucapan vega membuatnya menoleh tanpa berucap, "lo kenapa nggak belajar?" Sambung Vega.
"Nggak ada PR."
"Emang belajar kalau ada PR doang?" Tanya Vega. Nada bicaranya begitu menjengkelkan ketika masuk dalam gendang telinga.
Altair hanya diam, ia kembali mengotak-atik camera pura-pura tak mendengarkan.
"Air." Panggil Vega yang tetap tak di gubris olehnya. "Coba deh, sekali-kali dengerin kata Ayah."
Ucapan Vega selanjutnya membuat Altair berdecak, mengapa kembarannya berbicara seperti itu. Padahal Vega seharusnya tahu kalau Altair tidak suka jika menuruti apa kata Ayah.
Menurutnya, kehidupan seseorang itu tidak boleh di atur oleh orang lain, termasuk orang tuanya. Altair sudah dewasa, ia ingin mempunyai jalan hidup yang ia inginkan.
"Kita beda, Bang. Mana bisa dipaksa buat punya passion yang sama."
"Kita 'kan kembar."
"Ya, tapi-" Altair meraup wajahnya frustasi kala mendapati wajah cengo milik Vega, "Abang tuh pinter, masa bahas ginian aja udah tolol."
"Anjing." Ucap Vega tiba-tiba.
What?! Altair melongo, bisa-bisanya dengan santai Vega mengatainya.
"Lah, kok kasar!"
"Kasar apaan? Yang ada lo yang ngatain gue!" Balas Vega sedikit kesal.
"Kenapa malah ngatain balik, bukannya di tegur."
"Mana ada ngatain balik, anjir. Lihat, noh!" Vega menangkup pipi kembarannya dan membantunya memutar kepala.
Altair berjengit, jantungnya seperti tak lagi berada pada lingkup tulang rusuk. Kedua tangannya melepas pelan tangan Vega yang berada di pipinya kemudian kedua kakinya terangkat, dan jadilah ia berjongkok di atas bangku taman.
Itu anjing tetangga mereka, sial. Tak ada yang bisa berkutik diantara mereka jika menyangkut per-anjingan.
"D-dia kok disini." Ucap Altair lirih dengan terbata-bata yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Vega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Pijar
Teen FictionSetiap manusia memang memiliki kelebihan tersendiri. Tapi nyatanya, Vega selalu bersinar lebih terang daripada Altair. Bagi Altair, Vega adalah manusia dengan sejuta kecerdasan yang dibanggakan oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan Altair pikir, ia ta...