Malam ini hujan turun membasahi kota, dinginnya terasa hingga menembus dinding kamar cowok berambut hitam kecoklatan itu. Jari-jarinya tak henti membuat berbagai coretan senyawa di buku tulisnya, mengisi celah putih dengan tinta hitam berbentuk angka.
Ia mengacak surainya ketika jawaban dari soal kimia yang di berikan oleh Pak Komar tak kunjung di temukan. Sudah berkali-kali Vega berusaha memakai berbagai rumus, tapi mengapa jawabannya tetap tidak sama dengan jawaban yang di berikan Pak Komar.
Vega menghela napas kasar, punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi yang ia duduki. Mata pekat itu menelisik keluar jendela, menatap air yang jatuh dari langit dan menabrak tanah menimbulkan suara khas yang banyak digemari makhluk bumi. Dia juga menyukai bau tanah ketika hujan turun, menurutnya hujan adalah salah satu hal paling menenangkan selain pelukan.
Maniknya teralih, menatap buku-buku dan bulpoin didepannya bergantian. Tak menunggu lama ia memilih menutup semua buku itu kemudian merebahkan badannya di kasur dengan posisi terlentang.
Ia kembali menatap jendela, menyaksikan hujan yang mulai reda menyisahkan tetesan air yang menempel di kaca jendela.
Vega memijat pelan kedua pelipisnya dengan jari telunjuk dan jempol, matanya terpejam sesaat merasakan putaran hebat di kepala.
"Pusing." Ia bergumam pelan.
Tinggal beberapa hari lagi olimpiade akan di mulai, tapi masih ada saja soal yang belum bisa ia pecahkan. Dari kemarin memang hanya satu soal itu yang membuatnya mengacak surai kecoklatannya frustasi, Pak Komar bilang beliau akan memberitahu bagaimana cara menemukan jawaban, tetapi Vega meminta waktu agar bisa mengerjakannya sendiri.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, pintu kamarnya terbuka bersamaan dengan suara menggelegar yang membuatnya berdecak kesal.
"Bang Eja!"
Altair memasuki kamarnya dengan membawa tumpukan buku bertuliskan sosiologi. Ia menaruh buku-buku itu di meja belajar Vega, kemudian ikut merebahkan badannya dengan posisi tengkurap di samping kembarannya.
"Bang. Bantu Air ngerjain PR, dong." Ucapnya dengan nada memohon. Tak mendapat jawaban dari sang empu, ia menepuk pelan lengan Vega yang terlipat menutupi dahi dan matanya.
"Bang. Tidur, ya?"
Vega hanya bergumam. Ia bukannya tak mau membantu Altair, tapi saat ini kepalanya benar-benar sakit. Yang Vega ingin hanya terpejam hingga sakitnya tak lagi terasa.
"Abang sakit?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Altair membuatnya membuka mata dan terduduk seketika. Altair yang melihat itu sontak mengikuti apa yang di lakukan Vega, menatapnya heran karena terbangun dengan tiba-tiba.
Vega menatapnya sekilas, "dikumpulin kapan?"
"Masih lusa. Tapi mumpung Abang nggak lagi ngapa-ngapain, mending sekarang aja ngerjainnya."
Altair melihat Vega yang memijat pelan pelipisnya, mata cowok itu juga terlihat lelah. Ia sama sekali tak melihat binar di manik pekat itu.
"Besok aja ngerjainnya. Gue udah ngantuk berat, nih." Kata Vega.
Jam menunjukkan pukul 20.30, itu buka jam tidur Vega. Tumben sekali mata saudaranya itu sudah ingin diistirahatkan.
"Abang sakit, ya?" Altair kembali bertanya.
"Enggak."
"Masa, sih?"
"Cape doang, tadi habis ngerjain soalnya Pak Komar."
Altair mengerutkan dahi, menatapnya tidak percaya dengan ucapannya itu. Vega mengalihkan atensinya, menatap Altair yang memperlihatkan wajah mengkerut.
Vega terkekeh, "biasa aja tuh muka." Ia meraup pelan wajah Altair dengan tangan besarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Pijar
TeenfikceSetiap manusia memang memiliki kelebihan tersendiri. Tapi nyatanya, Vega selalu bersinar lebih terang daripada Altair. Bagi Altair, Vega adalah manusia dengan sejuta kecerdasan yang dibanggakan oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan Altair pikir, ia ta...