2 | Ngaco, bukan Ngocol

22.1K 770 39
                                    

Sepulang sekolah aku memang bertemu lagi dengan Sean. Di ruang ganti untuk senam lantai itu. Dia duduk di sana, memainkan HP. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat gelagat yang sering dia lakukan. Tiap lima detik dia menyisir rambut cokelat-nya dengan jari-jari tangannya. Berlagak sok keren. Padahal dia nggak keren sama sekali. Dia mungkin bisa saja jadi cowok yang menarik. Apalagi dengan darah bule yang mengalir di dalam darahnya. Tetapi, ya, itu... dia nggak punya aura keren dan menarik itu sama sekali. Aku saja nggak tahu kenapa kami selalu cipokkan kalau ketemu di party-party tertentu.

Yang membuat ini makin aneh adalah... aku mau ketemu sama dia untuk ngebicarain soal ngomong sama hewan itu. Aku kan masih nggak bisa terima dengan kenyataan tersebut. I mean, buat apa sih bisa bicara sama hewan? Itu nggak hebat sama sekali. Aku malah merasa kalau diriku ini Mutan dan besok pagi bakal ketemu sama segerombolan X-Men. Direkrut oleh Profesor X sebelum direkrut duluan sama Magneto yang jahat.

Sean menoleh, tersenyum simpul kepadaku. Tiba-tiba saja, entah datang dari mana, darahku berdesir melihat senyumannya. Karena kali ini senyuman itu begitu mempesona, nggak kayak tadi pagi. Senyuman basa-basi karena ketemu orang asing. Yang sekarang seakan-akan dia mengenalku, dan kami baru saja pacaran.

Tentu saja kami nggak pacaran. Tapi... kenapa hatiku deg-degan ya sekarang?

Lihat itu bibirnya yang merah tua, seperti anggur merah cap Orang Tua yang sering Papaku minum kalau badannya pegal-pegal. Matanya yang bulat sempurna bagai buah zakar. Dalam artian yang bagus kok. Karena aku suka ngemut buah zakar. Eh, aku belum melakukannya dalam dunia nyata sih. Hanya mengimajinasikannya saja. Buah zakar kan kalau diemut-emut gitu pasti lucu. Kayak lagi makan onde-onde. Meski buah zakar nggak ada gula merah di dalamnya. Namun, pasti enak kok. Aku yakin.

Umigod! Jangan bilang aku jatuh hati pada Sean! I mean, tadi pagi kan aku bermonolog kalau Sean itu nggak akan pernah menjadi pacarku. Atau aku yang akan yayang-yayangan sama dia di atas kasur sambil dia yang mainin puting susuku dan aku menggelitiki buah zakarnya. Nggak mungkin terjadi. Yah, walau aku nggak bisa menepis perasaan berdebar tiap kali dia menguak bibirnya saat bicara, atau pada saat bola matanya bersitumbuk pada mataku. Apalagi saat dia tersenyum begitu. Menawan sekali. Mirip Tyler Posey. Cowok macho setengah imut. Membuat menara Pisa ingin membalikkan badan Sean lalu menghujamnya.

Yang pastinya nggak aku lakukan. Menara Pisa masih tidur di sangkarnya.

"Jadi, lo mau ikut?" tanya Sean, membuyarkan lamunanku tentang fantasi gila tadi.

Sean memang lagi bicara daritadi, tapi aku nggak mendengarkan karena fokus ke bibirnya. "Ikut ke mana?" tanyaku, membuat kedua alis Sean terangkat sedikit. Mungkin sekarang dia mengira aku adalah gay budeg yang mengidap skizofrenia.

"Ke Klub Animal Lover." Sean menyisir lagi rambutnya. Yang ternyata bukan untuk berlagak sok keren. Rambutnya itu memang suka jatuh ke kening. Kalau dia sisir ke belakang, wajahnya yang putih-kocokelatan itu terlihat jelas. Dia punya warna kulit yang eksotis. Benar-benar mirip Tyler Posey. Aku suka Tyler Posey, by the way. "Ketemu sama orang yang kayak kita. Nggak banyak. Karena ini juga cuman klub yang tiba-tiba ada."

Aku mengernyit. "Klub Animal Lover?"

Sean mengangguk dengan sabar. "Iya, Animal Lover. Pecinta binatang." Sean memberitahu. Aku memutar bola mata. Aku juga tahu kok arti Animal Lover itu apaan. Aku sekolah di International School, nggak bisa bahasa Inggris ya mending out aja. Mungkin Sean pikir aku bodoh atau apa gitu, ya? Huh. "Lo mau ikut kan? Well, actually, gabung sama klub ini. Bukan cuman datang gitu aja. Secara lo kan bisa—" Sean mendekat, kupikir akan mencium bibirku, ternyata bukan. Dia membisikkan kalimat itu. "Ngomong sama hewan."

NgacoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang