7 | Ngaco, bukan Ngasal!

8.6K 359 28
                                    

Berisik. Aku nggak ngerti kenapa Bik Rihanna nggak langsung masuk ke kamarku saja daripada harus ketuk-ketuk pintu dengan berisik seperti itu. Nggak kayak kebiasaan Bik Rihanna juga, biasanya dia langsung menggoyang-goyangkan tubuhku sampai aku bangun. Itu lebih cepat dan nggak mengganggu pendengaranku. Aku nggak suka bunyi ketukkan—

Eh, wait!

Aku kan lagi nggak di rumah. Kasur yang kutiduri juga nggak sebesar kasurku. Punggungku yang telanjang bisa merasakan dinginnya AC. Dadaku bisa merasakan hangat dari orang yang aku peluk. Aku membuka mata pelan-pelan, berharap kalau aku lagi nggak ada di Amityville House dan di depanku adalah salah satu hantu yang ada di rumah itu. Meski hantu nggak ada yang punya badan sehangat ini. Mungkin dia korban. Oke, aku melantur. Dan, yes, bukan.

Eh, ini Sean. Eh, kami ada di mana? Eh—aku harus berhenti bilang eh, eh, lama-lama aku bisa menyanyikan Eh, Eh-nya Lady Gaga. Perlahan, kutarik tanganku yang memeluk erat pinggang Sean. Aku nggak sadar kalau dari semalam memeluk dia begini. Punggungnya hangat sekali, seperti pemanggang Barbeque yang baru lima belas menit lalu dipakai. Tapi dia bukan pemanggang Barbeque, tentu saja. Oke, aku melantur lagi. Mungkin karena arwah kesadaranku masih terbang di alam mimpi.

Ketukkan di pintu kembali terdengar. Atas nama Tuhan yang Maha Baik! Aku nggak tahu siapa orang kurang ajar yang terus-terusan mengetuk pintu kamar kami. Dan... astaga! Kami kan lagi ada di hotel. Sean menyewa kamar ini sampai jam sebelas nanti. Ini hari Minggu, kami nggak perlu pulang ke rumah and shit. Kalau nggak salah, tadi malam kami membeli banyak sekali cemilan. Lomba minum Red Bulls. Dan ngentot sampai jam tiga pagi. Aku saja baru tahu kalau aku bisa melakukannya hingga... astaga lagi! Enam ronde.

What the hell?! Maksudku, that's maleficent, but amazingly amazeball!

Baiklah! Aku benar-benar nggak suka sama ketukkan itu. Aku pun bangkit pelan-pelan dari atas kasur supaya nggak membangunkan Sean. Tadi malam, aku nggak main lembut sama dia. Aku terlalu cepat. Yah, nanti kalau dia bangun aku bakal minta maaf dan janji nggak melakukannya lagi. Aku takut pantat Sean robek atau apa. Aku nggak mau kehilangan pantatnya. Eh, sama takut kehilangan dia juga. Maksudku, semua tentang dirinya. Shit! Aku penasaran. Aku menarik sedikit selimut yang menutupi pantatnya, dan menunduk untuk melihat—oh, thank God! Nggak robek, malah bentuk pantatnya indah. Aku ingin—

Sudah lah! Nanti saja dipikirkan. Setelah mengenakan celana, aku langsung melangkah ke pintu. Membuka kait kunci dan membukanya setengah. Di depanku, ada seorang laki-laki mengenakan pakaian resmi dengan bordir nama hotel Aston di bagian dada sebelah kanan. Dia tersenyum basa-basi, menatapku dengan tatapan setengah-jengkel. Di depannya ada kereta dorong berisi dua piring.

"Your breakfast, sir," katanya, suaranya bosan dan malas. Seolah-olah dia terpaksa bekerja di sini. "Thank you for staying with Aston Hotel."

Dia bicara pakai Bahasa Inggris dengan aksen aneh seperti itu pasti dia pikir aku orang bule. Yah, mukaku memang nggak mencerminkan orang Indonesia juga, sih. "Makasih." Laki-laki hotel itu menaikkan kedua alisnya. Aku mengambil piring yang dia berikan.

Kututup pintu dengan kaki, melangkah pelan-pelan ke kasur. Sean masih tidur. Kutaruh piring itu di meja, menghampiri Sean yang terlihat begitu cute kalau sedang tertidur. Mulut kissable-nya membentuk O kecil, seakan-akan minta dicium. Kedua tangannya berada di bawah pipinya. Dia tertidur seperti bayi. Dan juga sangat cute, oh, aku sudah bilang tadi. Nggak apa-apa, itu karena dia memang cute. Aku mengulas senyum, mengelus rambutnya yang wangi. Kucium pipinya yang kemerahan. Aku memicingkan mata, menatap bintik-bintik kecil yang ada di tulang hidungnya. Bintik-bintik itu mirip serbuk Peri.

Aku nggak pernah lihat serbuk peri di dunia nyata, to be honest, hanya di film Tooth Fairy.

Sarapan yang diberikan pihak hotel ternyata hanya scramble egg dan satu gelas kecil orange juice. For God's sake! Ini mana cukup untuk jadi sarapan. Aku tinggal di Indonesia sudah cukup lama. Dan orang Indonesia nggak suka sarapan yang seupil kayak gini. Percaya padaku, sarapan yang ada di hadapanku ini hanya akan menjadi tai gigi saja. Dasar hotel pelit! Baiklah, harganya memang nggak mahal semalam, tapi still. Bisa kan kasih kami sarapan Nasi Goreng Mawut atau yang porsinya banyak gitu?!

NgacoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang