4 | Ngaco, bukan Ngalor

16.1K 648 67
                                    

Sebelum tikus itu menggigit kami berdua, menyebarkan pes yang mematikan, kami langsung keluar dari gudang itu. Nggak akan melakukan apa-apa di situ lagi. Daripada nanti tuh tikus membawa anggota panemnya yang lain kayak Boxtrolls. Aku nggak takut tikus, cuman nggak mau cari masalah aja sama mereka. Sudah cukup Sid yang mem-bully-ku di sekolah, aku nggak butuh sekelompok tikus juga.

Kulirik jam tanganku. Sekarang sudah pukul empat sore. Pasti Wicki dan Ronald telah menunggu di rumah sayur daritadi. Aku nggak peduli dengan keterlambatanku. Aku cuman nggak enak hati aja karena membuat ketua klub AL mereka tertahan karena harus ngentot dulu denganku. Yah, aku nggak menyesal juga soal itu. Ngentot sama Sean enak gitu lho. Aku bahkan nggak sabar untuk melakukannya lagi dengan cowok itu. Satu ronde pun oke lah.

Sean berjalan dengan kedua kaki agak melebar, aku pun juga begitu. Kami berdua mirip cewek yang air ketubannya baru saja pecah dan dia sebentar lagi akan melahirkan anak manusia. Aku nggak mau melahirkan anak manusia lho. Lubang pantatku terasa aneh saja sekarang. Nggak nyeri, cuman... yah, agak berdenyut-denyut gitu. Kayak jantungku sudah dipindahkan ke sana. Aku nggak suka sensasinya. Namun waktu aku menarik lubang pantatku ke dalam... rasanya geli. Aku ingin tertawa.

Aku nggak ketawa, tentu saja. Soalnya kami sudah sampai di depan pintu Rumah Sayur.

Pintu baru terbuka sedikit saat tiba-tiba ada seekor anjing ingin menyerang kami. Refleks, aku dan Sean mundur. Menatap anjing itu dengan pandangan waspada. Anjing itu maju ke arah kami berdua, menunjukkan giginya yang tajam dan liur yang berada di sekitarannya. Pupil mata anjing itu gelap, dia seperti sedang nggak sadarkan diri. Aku menunggu hingga anjing itu berbicara, pasti dia punya motif kenapa terlihat ingin menyerangku dan Sean.

"Stop it, Ron!" seru Sean kemudian. Aku mendongak dari si anjing ke Ronald yang lagi duduk dengan kedua kaki terlipat layaknya cowok paling macho sedunia. Dia—Ronald—menatap kami berdua dengan pandangan sebal. Dan aku tahu dia sebal kenapa. "Ngapain sih lo ngontrol emosi anjing itu buat nyerang kami, hmmm?"

"Karena kalian telat setengah jam dari janji yang kita buat kemarin!" seru Ron jengkel. "Nggak masalah kalo lo atau si AW ngasih kabar dulu. Gue bisa ikutan telat juga. Nggak nunggu kalian di sini kayak orang bodoh. Apalagi si Wicki daritadi ngomong mulu sama ikan yang ada di akuarium itu. Nggak mau gubris omongan gue sama sekali. Boring, you know!"

"Oke, gue minta maaf," ujar Sean, dia melihat ke anjing itu lagi. Hidungnya mengernyit saat tahu kalau anjing itu belum juga tenang. "Nanti gue BBM lo deh kalo misalnya gue mau dateng telat atau apapun yang lo lagi ributin sekarang."

Ronald mengalihkan matanya ke si anjing, lalu anjing itu menjadi seperti anjing pada umumnya. Nggak menggeram lagi. Hanya seekor anjing polos yang minta dielus.

"Ada makanan?" tanya anjing itu padaku. Dia menggoyang-goyangkan ekornya penuh semangat. "Saya belum makan daritadi pagi. Saya sudah ngais-ngais tempat sampah di belakang sekolah kamu. Tapi nggak ada yang enak. Semuanya sayur. Terus saya juga sudah ngais-ngais tempat sampah yang dekat kantin itu... nggak ada juga. Cuma ada botol sama kaleng minuman. Habis itu saya ke sini, terus orang yang di sana ngendaliin saya."

Well, aku baru tahu kalau anjing ternyata cerewet.

"Lo ada makanan, Ean?" Aku bertanya pada Sean. Ranselku ada di dalam loker. Aku memang jarang bawa ransel ke sekolah. Semua buku pelajaranku ada di sana. Buat apa lagi aku bawa ransel coba? Ribet. "Anjingnya kelaperan. Dia belum makan daritadi pagi."

"Gue tau kok," kata Sean. Ah, pastinya dia tahu. Sean kan bisa baca pikiran hewan. "Tanya ke dia, suka sama tuna apa nggak?"

"Suka tuna?" tanyaku ke si anjing. Ekor anjing itu mengibas lebih kencang sekarang.

NgacoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang