Sore yang cerah menyambut keluarga Adijaya. Suasana di rumah terasa hangat dan damai. Jaya, sang kepala keluarga, bersantai di ruang tengah sambil menyesap kopi kesukaannya. Hari ini ia merasa lega karena semua orderan frozen food sudah beres, sehingga ia bisa menikmati waktu istirahat yang jarang ia dapatkan.
Di sudut lain, Hani, tampak asyik bermain dengan tanah liat di ruangan khusus miliknya. Jemari lentiknya dengan teliti membentuk sebuah vas bunga yang indah. Sesekali ia tersenyum puas melihat hasil karyanya. Aktivitas ini menjadi hiburan tersendiri baginya untuk mengusir rasa jenuh.
Sementara itu, Yogi, terlihat duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Namun, pikirannya tampak melayang-layang, memikirkan persiapan olimpiade yang akan dihadapinya besok. Sesekali ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum kembali fokus pada belajarnya.
Di kamar, Tama, anak sulung keluarga Adijaya, menghabiskan waktu sorenya dengan tenang. Entah apa yang sedang ia lakukan, namun yang jelas, sore ini ia tidak memiliki jadwal kuliah atau kegiatan kelompok seperti biasanya. Ia bisa menikmati waktu istirahatnya dengan lebih leluasa.
Suasana di rumah keluarga Adijaya terasa damai dan harmonis. Masing-masing anggota keluarga menikmati aktivitas dan waktu istirahatnya dengan cara yang berbeda-beda.
"Yogi!" panggil Jaya dari arah dapur, suaranya terdengar lembut namun tegas. Yogi yang sedang asyik menonton TV, menoleh sejenak.
"Hm?" gumamnya pelan, matanya masih terpaku pada layar televisi.
"Tolong bawa paket ini ke kamar abang, tadi Mama yang nerima," ujar Jaya sambil meletakkan paket tersebut di dekat Yogi. Tanpa banyak bicara, Yogi segera bangkit dari sofa dan bergegas menuju kamar Tama.
Jaya memperhatikan punggung Yogi yang menjauh. Sejak acara tujuh bulanan Hani beberapa waktu lalu, ia merasa Yogi menjadi semakin dingin padanya. Padahal biasanya, meskipun tidak terlalu akrab, Yogi masih menyahuti Jaya dengan ramah.
Kali ini, Jaya merasakan sedikit rasa bersalah dalam hatinya.
Langkah kaki Yogi terdengar bergema di sepanjang koridor menuju kamar Tama. Sesampainya di depan pintu, ia melihat celah kecil di antara daun pintu yang sedikit terbuka. Tanpa berpikir panjang, Yogi langsung mendorong pintu itu dan masuk ke dalam.
"Bang, ada pa—Yhaaa!!!" Yogi terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Tama, sang kakak, baru saja akan memakai celananya.
"Yhaaa!!" Tama tak kalah terkejut melihat Yogi yang tiba-tiba menerobos masuk ke kamarnya.
Brak! Yogi segera keluar dari kamar Tama, wajahnya memerah menahan malu.
"Ya Allah, astaghfirullahaladzim. Mata gue ternodai!" Yogi menutup matanya dengan kedua tangan, berusaha menghapus bayangan yang baru saja dilihatnya.
"Kurang ajar lo, Gi!" Tama berteriak dari dalam kamar, segera memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa.
"Dikunci dong, goblok!" Yogi membalas dengan nada kesal.
"Heh, semprul! Dimana-mana adabnya masuk kamar itu ketuk pintu dulu!" Tama memarahi Yogi.
"Jangan banyak bacot, cepet pakai baju!" Yogi mendesak.
"Bentar!" Tama menyahut dari dalam.
Suasana di koridor itu terasa tegang dan canggung. Yogi masih berusaha menenangkan diri, sementara Tama di dalam kamar berusaha merapikan penampilannya dengan cepat. Keduanya sama-sama terkejut dan malu atas kejadian yang baru saja terjadi.
"Udah belum?" teriak Yogi dari luar, suaranya terdengar sedikit tidak sabar.
"Yaudah, masuk!" sahut Tama dari dalam kamar. Yogi pun melangkah masuk dengan ekspresi wajah yang seakan bersiap untuk menyampaikan komplain kepada Tama.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH & TAKDIR (revisi)| Yoshi Treasure
Teen Fiction"Sebuah kisah hidup itu yang buat ya diri kita sendiri Gi. Kita punya kebebasan dalam menjalani kisah hidup kita"_Tama. "Tapi menurut gue, sebuah kisah juga gak luput dari takdir Allah Bang. Ibaratnya kita cuma wayang yang digerakin sama dalangnya...