2

102 15 4
                                    







Bau embun pagi yang masih basah menyeruak dalam indra penciuman. Ditambah dengan minyak orang aring yang kini tengah Yogi kenakan pada rambut hitamnya agar mudah untuk ditata. Sesekali dia melihat sebuah aplikasi di ponselnya untuk memeriksa ojol yang sekiranya tidak sibuk. Tapi ternyata masih belum ada yang menerimanya.

Dari pada kesal sendiri, Yogi memutuskan untuk mengirim pesan pada temannya. Meminta tumpangan untuk berangkat sekolah. Setelah itu ia akhirnya kebawah untuk sarapan sedikit sebelum ke sekolah. Terlihat ada Ayaha dan Ibunya yang sedang sarapan di meja makan. Yogi bersyukur tidak ada keberadaan Tama disana. Jujur suasana hatinya sedang tidak baik jika harus bercekcok dengan Abangnya itu.

Hani yang mengetahui keberadaan Yogi segera memasang senyum diwajahnya.

"Pagi sayang. Sarapan dulu sini!". Ujar Hani sambil menyiapkan piring untuk Yogi. Sementara Jaya menarik bangku disampingnya.

Yogi sempat bingung, apa itu untuknya?. Tidak biasanya tindakan Ayahnya ini. Dari pada hanya diam, akhirnya ia memilih bangku yang lain.


"Duduk sini, biar Mama gak perlu jauh-jauh ngasih piring ke kamu," ujar Jaya, menghentikan langkah Yogi yang hendak mencari tempat duduk. Yogi terkejut, tidak menyangka Ayahnya akan begitu perhatian. Biasanya, Jaya terkesan cuek dan jarang menunjukkan kasih sayang secara terbuka.

Dengan sedikit ragu, Yogi pun duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. Hati Yogi terasa hangat, seolah-olah ada secercah kehangatan yang menyusup ke dalam dirinya. Jarang sekali ia merasakan momen seperti ini bersama Ayahnya.

Tanpa banyak bicara, Yogi segera menyantap sarapannya. Ia tidak ingin membuat temannya menunggu terlalu lama. Meskipun jarang sarapan di rumah, kali ini Yogi merasa bersyukur bisa menikmati hidangan pagi bersama keluarganya. Apalagi setelah kemarin ia mengalami gejala maag, jadwal makan tepat waktu menjadi sangat penting.

"Nanti Yogi bareng Papa saja, ya? Papa juga mau ke pabrik, kok," ujar Hani, menatap Yogi dengan sorot mata yang lembut.

"Sepeda Yogi kenapa?" tanya Jaya, mengalihkan perhatian.

"Rantainya putus, Pa. Kemarin baru Yogi bawa ke bengkel," jawab Yogi, sedikit ragu.

Jaya mengangguk-angguk, lalu berkata, "Kalau Yogi gak keberatan desekan sama daging ayam sih gak masalah. Tapi Papa takut nanti Yogi sampai sekolah bau ayam."

Mendengar itu, Hani langsung melempar lap piring ke arah Jaya dengan kesal. "Ih, Papa! Yogi harus diantar dulu, baru nanti Papa pulang lagi untuk ngambil daging ayamnya," tegurnya.

Yogi terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dalam hati, ia merasa sedikit senang karena Ayahnya ternyata peduli dengan kenyamanannya.

"Gak apa-apa kok, Ma. Yogi udah nebeng temen. Lagipula masih pagi," lerai Yogi, berusaha menenangkan suasana.

Hani tampak sedikit ragu, namun akhirnya mengangguk. "Yaudah deh kalau gitu. Ini, Mama bawakan bekal, nanti dimakan ya," ucap Hani sambil memasukkan kotak bekal ke dalam tas Yogi.

"Makasih, Ma," balas Yogi tulus.

~..🍁🍁..~

Tangan Yogi yang dingin menali sepatu hitamnya dengan cepat. Ponselnya terus berdering, pasti itu temannya yang tadi. Yogi menghela napas, sedikit terganggu dengan suara dering yang tak kunjung berhenti.

"Berangkat Gi?" tegur Tama, kakaknya, dengan nada jahil.

Yogi mendongak, menatap Tama sejenak. "Hm," jawabnya singkat, tak ingin berlama-lama.

KISAH & TAKDIR (revisi)| Yoshi Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang