Part 8: PRINCE

38 13 58
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


"Perlakukanlah sebuah karya seni seperti seorang pangeran, biarkan seni itu berbicara kepadamu."
-Arthur Achopenhauer

*****

Waktu seakan berhenti di sekelilingku, debaran jantung yang kian meningkat seakan memekakan hati.
Aroma yang sama manisnya dengan senyumannya ini, seperti menggelitik inderaku.

Kami masih duduk bersandar pada meja kayu panjang ini, seperti dua orang murid yang bersembunyi karena bolos sekolah.
Lambat laun suara gaduh mulai berkurang, dua orang pria asing tadi pun telah pergi entah ke mana.

Setelah merasa aman, Rav bangkit sambil menghela nafas dan berbicara.

"Akhirnya, sepertinya aku harus pergi sekarang, maaf tidak bisa menyelesaikan lukisan hari ini." Ia beranjak dari tempatnya duduk.

"Lagi? Apa orang-orang tadi mencarimu?" Aku mengerutkan kening.

"Hmm, entahlah."

Aku sedikit kesal mendengar jawaban yang tidak memuaskan darinya.

"Kau buronan ya?" Aku mengernyit.

Mendengarnya, Rav sontak terkekeh.

"Imajinasimu terlalu tinggi." Ucapnya.

Ia yang telah berdiri kemudian melepas topinya dan memakaikannya padaku, entah apa maksud dari perlakuannya itu.
Mungkin hanya ingin menenangkanku agar tak lagi kesal karena kepergiannya.

Setelah memberikan topinya, ia segera berjalan keluar dari cafe.
Meninggalkan semua ingatan manis yang masih berlalu-lalang di kepalaku.
Ya, beginilah Rav, datang dan pergi sesuka hatinya.

*****

Aku yang bosan karena menunggu Rav akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan lagi.
Aku melewati jembatan batu yang terlihat tua dan lembab.

Saking asyiknya melihat kota, aku tak sadar telah ada di depan pintu masuk sebuah kastil yang megah namun terlihat sudah berumur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saking asyiknya melihat kota, aku tak sadar telah ada di depan pintu masuk sebuah kastil yang megah namun terlihat sudah berumur.

Aku ingat Rav mengatakan kalau kastil adalah tempat belajar dan asrama para bangsawan.
Aku tak bisa menahan rasa penasaran dan segera masuk menyusuri halaman rapi berhiaskan air mancur di tengahnya ini.

Di luar dugaan, kastil ini lebih sepi dari bayanganku.
Seperti tak ada satupun bangsawan yang kulihat berkeliaran.
Aku terus menyusuri setiap sudut kastil, naik dan turun tangga.
Melihat ukiran-ukiran indah pada dinding batu kastil serta penerangan yang menggunakan lampu berwarna cokelat.

Saking jauhnya aku berkeliling, aku sampai lupa ke mana arah untuk kembali.
Langkah kakiku terhenti di depan salah satu balkon kastil ketika aku melihat pria asing sedang duduk santai seorang diri.
Aku memutuskan untuk bertanya arah jalan keluar dari kastil ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In My Lucid Dream (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang