Part 4: MATI?

45 14 40
                                    

WARNING! : Dimohon untuk tidak melakukan copy atau plagiat untuk menjaga karya asli milik penulis.


"Sebagaimana hari yang dihabiskan dengan baik membawa tidur yang bahagia, demikian juga hidup yang digunakan dengan baik membawa kematian yang bahagia." - Leonardo Da Vinci.

*****

Hawa dingin menusuk menembus kulitku, suasana sepi yang menyesakkan.
Namun berangsur-angsur hawa dingin itu menghilang berganti udara yang menghangatkan.
Aku membuka mata secara perlahan, sejauh mata memandang hanya terhampar kabut putih.

"Apa aku sudah mati?" Pikirku.

Berangsur-angsur kabut yang mengelilingiku menghilang, kini aku dapat melihat di mana aku sekarang.
Balkon lantai dua di sebuah gedung, tidak, ini lebih mirip sekolah.

Aku memegang kepalaku, beberapa saat yang lalu bukankah aku terjatuh dari atap gedung sekolah? Aku ingat kepalaku terasa sangat sakit hingga kehilangan kesadaran.
Tapi tak ada darah sedikitpun sekarang.

Aku menunduk melihat kedua telapak tanganku, baik-baik saja.
Di mana perban yang membalutnya?
Aku masih bingung dan tidak mengerti.
Jika aku sudah mati, kenapa aku justru ada di sini?
Aku berbalik, memeriksa ruang kelas yang ada tepat di belakangku.
Kosong, tak ada siapapun di sini.

"Hei."

Suara seseorang terdengar dari belakang secara tiba-tiba, berhasil membuatku bergidik ngeri.

Dengan cepat aku berbalik, mencari sumber suara tadi.
Aku terkejut ketika menatap lurus ke depan, seorang pria tinggi memakai kemeja putih panjang dengan model tidak biasa, ia duduk santai di atas pagar balkon.
Kulitnya putih bersih, badan tegap dan jari yang lentik.

Jantungku berdetak kencang, antara bingung kagum dan takut.
Ia membelakangi cahaya senja, membuatku tak dapat dengan jelas melihat wajahnya.

Ia berdiri dari posisinya duduk, sedikit mendekat kepadaku.
Jantungku makin tak karuan rasanya, aku tidak mengerti perasaan aneh ini.
Seakan mengerti ketakutanku, dengan cepat ia menarik tanganku, memelukku dengan hati-hati, seakan ia bisa membuatku remuk jika terlalu kuat.

Ajaibnya, rasa takutku sirna.
Seperti obat penenang, ia berhasil mengusir kecemasanku.
Beberapa saat kemudian ia melepasku, membungkukkan tubuh tingginya dan menatap wajahku.
Kini aku bisa dengan jelas melihatnya.

Hidung mancung dan alis yang tebal, rambut hitamnya menutupi kening.
Ia tersenyum, lesung pipi manis terukir menghiasi senyumnya. Matanya menyipit bak bulan sabit ketika senyum lebarnya terlihat.
Aku seperti melihat sebuah karya seni.

"Selamat datang." Ucapnya pelan sembari terus tersenyum.

Ketika otakku masih berusaha mencerna semua hal yang terjadi, tiba-tiba saja suara bentakan keras terdengar dari arah tangga.
Aku terkejut, begitupun pria ini.
Aku menoleh ke sumber suara, Dua orang pria asing berdiri di tangga menatap ke arahku.
Perawakan mereka berumur sekitar 20 tahun, auranya menyeramkan dengan pakaian yang sama persis namun aku tak pernah bertemu orang dengan pakaian seperti itu.
Mereka berbicara dengan suara keras dan berat, namun aku tidak mengerti apa yang mereka katakan, bahasa yang sangat asing.

Walaupun tidak mengerti, satu hal yang kutahu, dua orang itu berbicara pada pria di hadapanku ini. Apakah mereka saling mengenal?

"Hei." Lagi-lagi pria berkemeja putih itu memanggilku.

"Kita ketemu lagi nanti." Ucapnya.

"Nanti?"

Belum habis rasa penasaranku terjawab, dengan santai pria itu menjatuhkan dirinya dari balkon tempat kami berdiri.

In My Lucid Dream (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang