lahirnya arunika (bagian I)

402 44 10
                                    

[ 3 tahun sebelumnya ]

kala itu, Jaya masih berusia 14 tahun. terduduk sendirian di tanah berumput area pemakaman, ia terisak hebat di depan nisan ayah dan bundanya.

matanya sembab, dan belah ranumnya memutih pucat. bahunya bergetar kecil, jejak air mata membekas di pipi tirusnya.

semesta dan langit senjakala menjadi saksi bisu, diam-diam mengawasi Jaya yang begitu rapuh.

pertahanan anak laki-laki itu hancur, melebur bersama isak lirih yang lolos dari ranum tipisnya. mungkin jika dibandingkan dengan luka yang meneteskan darah, lukanya atas kehilangan dua sosok terkasihnya berkali lipat menyakitkan.

hatinya patah. Jaya mendarah.

walau hati tak memiliki tulang, namun Jaya sungguh merasakan hatinya patah terbagi dua. kecelakaan maut yang menimpa ayah dan bundanya, merampas kebahagiaan Jaya tak bersisa.

tidak peduli dengan setelan hitam khas berdukanya jadi kotor, Jaya merebahkan diri pada ruang kecil di antara makam ayah dan bundanya.

"ayah, buna, boleh tidak Jay menyusul kalian saja? Jay sudah tidak punya siapa-siapa lagi, semua orang tidak peduli. Jay sendirian, tidak suka." lirihnya pilu.

benar adanya demikian, orang-orang yang berhubungan dengan mendiang ayah dan bundanya semasa hidup tidak menaruh peduli terhadap nasib Jaya. semuanya lenyap setelah prosesi pemakaman, satu per satu meninggalkan Jaya hingga tersisa dirinya sendirian.

bahkan saat hitungan menit sebelum berjalannya prosesi pemakaman, seorang pria dewasa yang merupakan kepercayaan ayahnya semasa hidup sempat-sempatnya menjelaskan segala hal dan rinciannya mengenai kehidupan sehari-hari Jaya selanjutnya. 

terlampau rumit, Jaya tidak mengerti.

seakan tak paham bahwasanya Jaya sedang berduka, orang itu tetap demikian agar cepat merampungkan urusan dan bisa lepas tangan terhadapnya.

anak yang malang, Jaya merasa terbuang.

lantas ia tak punya alasan untuk pulang ke rumah, sebab Jaya meyakini tiada lagi kehangatan di sana. kepergian ayah dan bundanya, dalam sekejap mengubah pandangan Jaya terhadap dunia dan orang-orang sekelilingnya.

rasa kepercayaannya terkikis, begitu pula dengan rasa syukurnya. ada setitik kecil di hatinya yang menyalahkan takdir sang khalik atas kepergian ayah dan bundanya sekarang.

sungguh membingungkan, Jaya kehilangan arah.

ia tak tahu harus membawa raganya berjalan ke arah mana, sekedar untuk melanjutkan hidupnya yang kini mehampa.

air mata kembali menggenangi pelupuk maniknya, membuat netra setajam elang miliknya mengkilap berkaca-kaca. dan pada akhirnya, kembali luruh. tangis itu kembali, membasahi pipi tirusnya dan menggetarkan ranum pucatnya.

"ayah, buna, Jay di sini saja, ya. izinkan Jay tinggal di sini, bersama kalian, sampai perjalanan takdir hidup Jay selesai."

tiada rasa takut dan peduli dengan panorama nabastala yang telah menggelap, bahkan sandyakala telah mengantarkan senjanya hingga biru jelaga kehitaman sepenuhnya membentang.

gelap dan sepi, namun Jaya tiada takut sama sekali.

dengan sesenggukan lirih dan sisa-sisa jejak air mata pada durjanya, Jaya masih betah merebahkan diri di tanah berumput yang menjadi celah antara makam ayah dan bundanya.

sungguh ia berucap, sungguhan ia perbuat. Jaya sungguhan tak pergi, ia setia menetap di sisi makam kedua orang tuanya.

hingga kantuk menjemputnya—sebab lelah akibat banyak menangis. perlahan Jaya terlelap, dan tertidur dengan berbantalkan lengannya sendiri.

arunika bercerita.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang