Seorang waiters sedang membersihkan meja yang kotor. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Di mana kafe tempatnya bekerja sudah tutup. Hanya tinggal dia dan tiga orang rekannya yang harus membersihkan kafe tersebut sebelum mereka pulang.
"Mau bareng gak, Dan?" tanya Magen, rekan kerja Dandy.
"Enggak deh, Kak. Gua gak enak tiap hari ngerepotin lu terus." Dandy berkata dengan senyum yang begitu lebar.
"Doain gua aja, ya. Semoga gua bisa kebeli motor biar cepat nyampe kosan."
Magen sangat salut kepada Dandy, rekan kerjanya yang sudah tiga bulan ini bekerja di Smile kafe. Jika, melihat Dandy dia merasa seperti manusia yang kurang bersyukur. Dia masih memiliki orang tua yang lengkap dan tak usah menyewa tempat tinggal masih saja mengeluh dengan kehidupannya. Beda halnya dengan Dandy yang hidup sebatang kara. Umurnya masih tujuh belas tahun, paginya dia harus sekolah dan setelah pulang sekolah dia harus bekerja hingga tengah malam. Membayar biaya sekolah sendiri juga tempat yang dia tinggali. Namun, tak pernah sedikit pun dia mengeluh akan keadaannya.
Dandy yang mengenakan Hoodie berwarna hitam terus menyusuri jalanan yang sepi di tengah malam hingga dia berbelok ke gang kecil. Tibalah dia di sebuah kontrakan kecil yang tak layak huni. Lantainya pun masih acian belum dikeramik. Sungguh kontrakan yang kumuh.
Dandy meletakkan tas sekolah yang dia bawa. Dia mengeluarkan baju yang ada di dalam tasnya. Kemudian, dia gantung karena besok masih harus dia pakai. Dia menggelar kasur yang teramat tipis untuk dia tidur dengan berbantalkan beberapa baju yang dia lipat. Juga sebuah sarung yang dia gunakan sebagai selimut.
Jam dua belas malam dia baru sampai rumah. Jam empat pagi dia harus bangun karena jam lima pagi dia harus membantu Mang Eman untuk mendorong gerobak nasi uduk menuju pinggiran jalanan besar. Membantunya menyiapkan dagangan dan Dandy akan mendapatkan upah sarapan gratis.
"Makasih, Mang."
Pria paruh baya itu menyerahkan keresek putih berisi nasi uduk yang sudah dibungkus juga dengan kerupuk yang terpisah. Ada juga sendok plastik dan air teh tawar hangat di dalam botol.
"Belajar yang benar dan rajin biar jadi orang."
"Pasti itu, Mang. Aku gak akan ngecewain Mang Eman."
Dandy berbicara dengan begitu sopan diiringi senyum yang mengembang begitu lebar. Dia dicintai banyak orang.
"Ini!"
Mang Eman memberikan uang kepada Dandy.
"Buat naik angkot."
"Enggak, Mang. Mending uangnya aku simpan buat bayar kontrakan. Lagian sekarang baru jam enam kurang seperapat."
Dandy memilih berjalan kaki menuju sekolahnya. Penghasilannya di smile kafe bisa dibilang hanya cukup untuk membayar kontrakan dan biaya sekolah. Juga untuk dia makan sehari sekali. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang anak sekolah turun dari mobil mewah. Bibirnya tersenyum.
"Tak terasa sudah lima bulan."
Dandy menghela napas kasar. Dia pun melanjutkan langkahnya kembali menuju sekolah.
.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini, Ci?" Seorang wanita berwajah tegas sudah berbicara dengan nada tinggi kepada anak perempuan yang memakai seragam SMP sekolah internasional.
"Kamu mau mati?"
Kini, kalimat kasar keluar dari mulutnya. Namun, anak perempuan itu tidak menjawab sama sekali. Tatapannya begitu kosong. Piring berisi roti pun tak dia sentuh sama sekali.
"Cepat makan!"
Pelayan yang ada di belakang wanita dan putrinya menatap sedih ke arah anak perempuan yang setiap pagi pasti akan menerima Omelan dari ibu kandungnya.
"Bisakah Mami kembalikan Kak Cakra? Cici ingin Kak Cakra."
Bulir bening ikut menetes setelah Cindai Agseysa berkata. Pelayan yang berdiri di belakang Cindai pun ikut menyeka ujung matanya.
"Di mana kamu, Mas Cakra? Lihatlah adikmu ini, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Malaikat Tak Bersayap
Teen Fiction"Aku tak pernah memiliki sedikit pun dendam kepada mereka yang sudah menyakitiku." -Cakra Danadyaksa- Pemuda yang bisa dibilang tak memiliki amarah dan selalu bersikap lembut, ramah dan hangat kepada semua orang. Termasuk kepada mereka yang sudah m...