7. Di Hajar Oleh Keadaan

23 4 1
                                    

Selepas acara  kejutan ulang tahunnya, Cakra kembali ke rumah dengan membawa beberapa hadiah kecil. Dia membuka pintu kontrakan petak kumuh. Meletakkan hadiah tersebut di lantai peluran. Dia menghela napas kasar. Kemudian, duduk di samping hadiah yang dia letakkan. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding. Memejamkan matanya sejenak dan tak terasa bulir bening menetes.

"Cici, maafkan Kakak."

Di hari bahagianya, adiknya lah yang sangat dia khawatirkan. Ini adalah hari ulang tahun pertamanya tanpa sang adik. Dia ingin bertemu dengan Cindai. Dia ingin memeluk adiknya tersebut.

"Tuhan, doaku di tahun ini tidak muluk-muluk. Aku ingin bertemu dengan adikku. Jangan pisahkan kami terlalu lama karena aku tidak bisa hidup tanpa adikku."

.

Keesokan paginya tepat hari libur. Cakra tak ada niatan untuk keluar rumah. Dia ingin menghabiskan waktu di dalam kontrakan.  Hadiah yang masih terbungkus rapi, baru Cakra sentuh. Ada empat kado yang dia dapatkan. Dari Bu Anne, Mang Eman, Megan dan Kalila.

"Ci, harusnya kamu yang buka kado ini."

Hanya Cici yang kini ada di pikiran Cakra. Dia sangat yakin Cici masih bersedih. Dia berpikir sejenak.

"Apa aku ke sana saja? Aku ingin melihat Cici."

Sedetik kemudian dia menggeleng. Mentalnya belum cukup kuat untuk menghadapi segala makian yang pastinya akan membuat hatinya hancur berantakan.  Cakra menghembuskan napas kasar. Tangannya baru saja hendak membuka kado yang dia dapatkan. Ketukan pintu terdengar. Cakra bingung karena tidak ada yang pernah bertamu sudah hampir empat bulan ini. Jika, Mang Eman atau Megan yang datang  mereka akan memanggil namanya. Ada sedikit ragu di hatinya untuk membuka pintu. Akan tetapi, suara pintu semakin nyaring terdengar. Alhasil, Cakra bangkit dan membukakan pintu. Tubuhnya menegang ketika dia melihat Pak Tarjo, sopir sang ibu.

"Ini kado dari Nyonya."

Pan Tarjo memberikan paper bag kepada Cakra. Remaja tujuh belas tahun itu hanya menatap paper bag itu tanpa mengambilnya.

"Ambillah, Den."

"Aku tidak butuh hadiah itu, Pak." Cakra menatap ke arah Pak Tarjo dengan menahan air mata. Juga masih mencoba untuk tersnyum.

"Bilang kepada Mami, tak butuh hadiah mahal.  Aku hanya butuh pelukan hangat penuh kasih sayang yang sudah sepuluh tahun tak aku dapatkan darinya."

Hati Pak Tarjo seperti tertusuk belati panjang dan tajam. Mata Pak Tarjo mulai berembun melihat anak yang sedari kecil selalu bermain bersamanya mengatakan hal semenyakitkan itu.

"Bilang kepada Mami, aku akan menunggu pelukan itu."

Senyum penuh luka Cakra berikan kepada Pak Tarjo. Dia menunduk sopan. Lalu, kembali ke dalam dan menutup pintu kontrakan kembali.

Cakra menyandarkan tubuhnya di pintu kontrakan yang sudah lapuk itu. Dia memejamkan matanya. Bayang wajah ibunya mulai hinggap di kepala.

"Mami tahu gak? Hadiah yang sangat spesial yang Mami berikan di usiaku sekarang ini adalah fitnahan yang luar biasa. Fitnahan yang membuat mentalku hancur dan belum kembali sampai saat ini."

Cakra tersenyum penuh dengan luka. Tubuhnya mulai luruh ke lantai berbarengan dengan air mata yang mulai membasahi wajah.

"Di saat semua orang membenciku, aku takut, Mi. Aku bingung harus berlindung kepada siapa? Aku gak tahu harus mengadu kepada siapa? Aku sendirian. Aku ketakutan, tapi aku masih berharap Mami datang dan mengulurkan tangan Mami kepadaku. Aku tahu Mami baik, Mami sayang sama aku, tapi nyatanya aku malah semakin dihajar oleh keadaan. Aku terluka, Mih. Aku sakit, Mi ...."

Malaikat Tak Bersayap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang