6. Penjahat dan Biadab

20 5 3
                                    

Di tengah derasnya hujan, Axel terus melajukan motornya. Dia tidak sendiri. Dia bersama Restu yang tahu keberadaan Cakra.

"Belok gang kecil itu."

Perintah Restu Axel turuti, dan Restu menyuruh Axel menghentikan motornya di depan kontrakan petak kecil nan kumuh.

"Lu serius?"

Restu tak menjawab. Dia langsung turun dan mengetuk pintu kontrakan tersebut. Cukup lama hingga akhirnya seorang remaja dengan wajah sendu membuka pintu. Dia nampak terkejut ketika melihat Restu. Seketika Restu menggeser tubuhnya dan memperlihatkan jika ada Axel juga di sana.

Dua sahabat itu saling tatap tanpa berbicara. Mata Axel nanar ketika melihat sahabatnya yang lebih kurus dan sangat berbeda.

"Cakra!"

Axel memeluk tubuh Cakra. Tak ada kalimat apapun dari mereka berdua. Namun, pelukan yang sangat erat menandakan jika mereka berdua sangat amat saling merindukan.

"Gua beli rokok dulu ke depan. Entar gua balik lagi."

Restu seakan memberikan ruang kepada dua manusia itu untuk berbicara. Banyak sedikit dia tahu bagaimana hubungan Axel dan juga Cakra.

"Kenapa lu pergi tanpa kasih tahu di mana lu tinggal?" Cakra hanya tersenyum. Dia menyerahkan handuk kepada Axel untuk mengelap tubuhnya yang basah.

"Gua gak mau lu dalam bahaya." Axel terdiam mendengarnya. Dia menatap dalam wajah sang sahabat.

"Gua juga gak mau lu kebawa-bawa dalam masalah gua."

"Cak--"

"Gua ini seorang pembunuh, Xel. Gua adalah penjahat yang biadab." Cakra berkata diiringi senyum penuh luka.

"Harusnya lu gak cari gua dan gak usah jadi sahabat gua lagi."

Axel menggeleng. Dia menepuk pundak Cakra dengan begitu lembut hingga manik mata Cakra memandang ke arah Axel.

"Kata orang lu pembunuh, tapi bagi gua lu itu malaikat pelindung." Mata Cakra berkaca-kaca mendengar ucapan dari Axel yang sangat tulus.

"Lu gak akan pernah bisa melarang gua untuk mencari lu. Apalagi berhenti untuk menjadi sahabat lu. Gua gak akan pernah melakukan itu," papar Axel dengan wajah sangat serius.

"Sejatinya, sahabat itu saling melengkapi. Saling merangkul dan selalu ada satu sama lain di dalam kondisi apapun, dan gua akan lakukan itu kepada lu."

Mata Cakra pun berair. Dia pun menunduk begitu dalam setelah mendengar ucapan yang sangat tulus selain dari Bu Anne.

"Gua tahu lu, Cakra. Lu anak baik. Lu gak akan ngelakuin hal kejam layaknya monster. Gua percaya sama lu."

Kepala Cakra menegak. Dia menatap lembut ke arah Axel yang sudah tersenyum.

"Rasanya sakit banget, Xel. Bukan hanya hati gua yang sakit, mental gua juga hancur."

Cakra menundukkan kepala. Tubuhnya pun bergetar menandakan anak itu menangis. Axel ikut menitikan air mata karena jika dia menjadi Cakra belum tentu dia akan sekuat Cakra. Dihakimi oleh para manusia sok suci. Dibenci karena fitnah yang sangat keji. Hingga diusir tanpa dibekali.

"Kenapa gak gua aja yang mati? Biar tidak ada yang tersakiti seperti ini."

Axel memeluk tubuh Cakra. Kalimat itu sangat menyayat hatinya.  Perih rasanya.

"Kalau gua mati, setidaknya Cici masih bisa bahagia dengan Mami Papi." Pilu sekali ucapan dari Cakra.

"Dia orang yang akan merasa paling tersakiti kalau lu mati," sahut Axel. "Dia juga yang akan paling keras menangisi kepergian lu."

Cakra hanya tersenyum. "Sakitnya sebentar, juga tangisnya pun akan reda. Bukankah begitu mudah melupakan orang yang sudah tiada?"

.

Axel menunduk begitu dalam. Setiap kali dia mengingat pertemuan itu. Dia akan menangis. Axel menatap perempuann yang sudah terlelap di atas kasur.

"Tidak bertemu dengan kakak kamu selama enam bulan saja kamu sudah seperti ini? Gimana kalau kamu beneran kehilangan kakak kamu?"

Axel menghela napas kasar. Dia kembali menatap wallpaper ponselnya. Di mana dia tengah berada di atas pundak Cakra.

"Lu harus tetap hidup karena ada adik lu yang sangat menyayangi lu. Lu kuat, Cak. Lu hebat."


Malaikat Tak Bersayap Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang