Utas yang dibuat Roberto dihapus sesaat setelah rapat ditutup, sehingga eksistensi berita tersebut di media sosial tidak lebih dari lima jam. Meski begitu, pagi ini seisi kelasku sibuk berbisik tentang kasus kekerasan seksual yang menimpa sosok "J". Terdengar jelas beberapa orang berbisik menyebut namaku, Roberto, Bayan, dan Musa; sebagian lagi terang-terangan membicarakan perkara tersebut selagi menunggu dosen masuk.
Tentu, aku tak luput dari pertanyaan untuk mengklarifikasi informasi yang mereka peroleh. Mereka ingin tahu, apakah sebagai ketua divisi sospol, aku benar-benar mengabaikan aduan dari sosok "J". Setidaknya, dengan mereka bertanya begitu, mereka masih menaruh percaya kepadaku.
"Gue udah bikin draf beritanya, coba lo cek, Nya. Barusan gue kirim ke lo," kata Zafi. Kelas belum dimulai, tetapi hampir semua kursi telah terisi. Dua kursi yang kosong adalah milik Bayan dan Roberto, keduanya tengah menemui Pak Yanto untuk membahas masalah kemarin.
Sambil menunggu dosen, kubuka file yang dikirim Zafi. Hasil rapat semalam adalah menyepakati ajuan dariku, ditambah dengan ide Zafi yang akan merilis berita di situs web UPM kampus mengenai hal yang sebenarnya terkait utas Roberto.
Ketua program studi ilmu komunikasi, Dr. Yanto Suroto, S.Pd., M.Hum. (18/10/2022) menyatakan bahwa Departemen Ilmu Komunikasi bersama BEM Himpunan Mahasiswa Komunikasi menolak tegas kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Za, lo tau dari mana Pak Yanto ngomong begitu?" komentarku begitu membaca isi berita yang ditulis Zafi.
Aku tertawa kecil, bukan karena merasa lucu, melainkan sedikit berpikir apakah sampai perlu memanipulasi berita demi menjaga citra? Meskipun tujuan berita ini memang untuk membantah informasi yang beredar, tetapi bukankah curang jika dilebih-lebihkan?
"Itu gue ngasal, sih. Gue yakin si Yanto bakal ngomong yang tujuannya ke sana secara publik, so why not?"
Aku mengangguk paham. "Okelah bagian itu bisa dipertimbangkan kalau Bayan udah balik nanti, mudah-mudahan memang beliau ada ngomong ke situ."
"Lo skeptis banget kayaknya, Nya?"
"Feeling gue, Bapak pasti cuma fokus ke dampak dari thread yang dibikin Roberto. Bukan valid atau enggaknya thread itu."
Zafi bergumam. "Belum tentu, sih. Gue yakin Pak Yanto mikirin korban juga, bukan cuma akreditasi. Buktinya dia mau biayain terapi mereka, kan?"
Memang benar, sih. Aku sepakat dengan hal tersebut, tetapi sejak awal kasus ini disampaikan kepada Pak Yanto, beliau terus menekankan agar tidak ada berita yang muncul.
"Tapi nanti gue bakal rilis beritanya sesuai approve dari lo, Musa, Bayan, kok, Nya. Tenang aja." Zafi bicara lagi begitu menyadari aku memilih untuk diam.
Semoga, ia mengerti. Diamnya aku bukan karena menutup sesuatu, melainkan ragu untuk menegaskan pendapatku.
"Anyaaa!" Marlena dengan tergopoh-gopoh duduk di sebelahku, di belakangnya Rahma mengekori dengan berjalan pelan. "Gue udah tau semuanya dari Rahma, gue ikut prihatin, ya."
"It's okay, Len."
"Gue udah nyiapin diri buat denger teriakan dan sumpah serapah lo, Len. Tapi lo malah lemah lembut begini, gue jadi ngeri," timpal Zafi. "Lo gak apa-apa?"
"Yee! Kampret lo!" sahut Lena.
"Kasusnya jadi rame begini gara-gara Roberto, ya? Kentara banget, sih, dia kayak gak suka sama lo, Nya." Rahma yang baru saja duduk pun ikut bersuara, sepertinya ia mendengar mahasiswa lain menggosip. "Terus gimana kelanjutannya?"
Aku mengedikkan bahu. "Bayan bakal nemuin Pak Yanto, sih. Roberto juga diajak. Zafi nanti bakal up berita kalau kasus 'J' itu hoax. Nanti lo pada bantu naikin, ya?"
Lena mengangguk dengan yakin. "Pastilah. Gue gak akan biarin temen-temen gue jatoh cuma karna thread sampah itu."
"Lo makan yang bener, ya, Nya. Gue khawatir kalian semua stres," kata Rahma.
"Udah stres, Ra." Zafi menimpali lagi. "Belakangan ini si Anya aja sering jalan sendirian, kayak menghindar gitu dari kita. Padahal saling ngerepotin temen mah udah biasa, asal jangan takabur aje."
"Tau, lo!" Kali ini, Lena pun menambahkan ceramah Rahma dan Zafi. "Kita ini udah sering berbagi kasur, lo bagi cerita aja kayaknya susah bener, Nya. Lagian, gunanya temen apa coba kalau bukan buat saling bantu? Jangan sampe orang sekitar lo ngerasa gak berguna, ya, nyeeet."
Aku bergumam. Bagaimanapun, ucapan mereka tidak bisa disangkal. "Makasih, ya, kalian. Doain ajalah biar Pak Yanto bisa ngambil tindakan tegas, jadi kita gak resah begini terus-terusan."
"Aamiin." Mereka bertiga berucap pelan.
Suara pintu terbuka menjadi pertanda bahwa seisi kelas harus senyap. Pak Rais melangkah masuk penuh wibawa sebelum duduk di mejanya.
Kupikir, percakapan kami akan selesai karena dosen sudah datang. Tetapi, Lena yang di sebelahku justru berbisik, "By the way, Nya. Gue mau tanya, pelaku dapet nomor korban dari mana?"
"Kalau dari chat korban, sih, dari grup angkatan atau dari temen gitu, Len."
Gadis itu mengangguk paham, pandangannya lurus seolah tengah memperhatikan dosen yang menyiapkan salindia, tetapi bibirnya terus berbisik. "Itu gak make sense, bege. Coba lo pikir lagi, deh, kalau pelakunya angkatan atas, pasti mereka punya kaki tangan atau database adik tingkat."
Benar juga. Sejauh ini aku hanya mengamati apa yang dirasakan korban pascakejadian, tidak mengamati bagaimana permulaan pelaku mengenal korban. Karena kupikir, bagian permulaan atau awal perkenalan itu adalah ranah privasi korban yang tak perlu kusentuh.
"Coba lo cek, deh, arsip data diri kita sama adik tingkat tuh ilang apa kagak. Kan, kita selalu update data diri tiap semester ke himpunan. Atau tanya, deh, ke penanggungjawabnya, database itu siapa aja yang akses belakangan ini," tambah Lena.
"Musa yang tanggungjawab, Len. Nanti gue coba koordinasi ke dia, takutnya dia juga udah crosscheck soal ini."
"Oh, Musa yang tanggungjawab. Tapi emang lo pada belum bahas ini?"
Aku menggeleng pelan. Benar, bagian ini adalah langkah awal yang terlewat. Astaga, selama ini fokus kami adalah teror yang dialami korban.
"Musa belum bahas? Dia bukan kaki tangan pelaku, kan?"
"Len ...."
"Gue cuma mastiin aja. Kan, Rahma juga bilang ini kita bisa curigain siapa aja. Pokoknya menurut gue, pelaku punya kaki tangan buat dapetin identitas korban. Titik." Lena berkata tegas. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan, entah memperhatikan dosen kami, atau menatap layar proyektor.
Ia membiarkanku kembali dengan pikiranku sendiri, soal kaki tangan pelaku.
Kaki tangan pelaku. Pelaku tidak sendiri, untuk mendapat kontak targetnya, ia perlu bantuan dari orang sekitarnya. Berarti, ini adalah kejahatan kelompok yang terorganisir, atau bisa juga hanya sekumpulan oknum iseng yang jahatnya kelewat batas.
Kalau begitu ... akan ada banyak nama yang harus dicurigai. Bisa saja di setiap angkatan memang ada orang yang bekerjasama dengan pelaku, kan?
Lalu Musa—
"Iya bagaimana, Adriana?" Perdebatan dalam kepalaku seketika lenyap. Pak Rais menunjukku secara tiba-tiba, mungkin ia menyadari bahwa diriku tengah melamun.
"Jika dihadapkan dengan isu perselingkuhan selebriti seperti sekarang, angle yang bagaimana yang menurut Anda cocok dalam membuat teks feature tersebut?" katanya lagi begitu aku mengangkat kepala tanpa merespons.
Ah, astaga. Salahku tidak memperhatikan beliau ketika menjelaskan. Juga agaknya, salahku tidak ikut meramaikan media massa tentang perselingkuhan selebriti.
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-called
Random[TAMAT SECARA LENGKAP] Pernahkah kamu berperan seperti agen 911? Atau, berlagak seperti Detektif Conan ketika melihat kado misterius di depan pagar? Kupikir, hal semacam itu hanya kulakukan ketika bermain-main di waktu kecil setelah menonton film be...