14. May God Protect

54 10 16
                                    

Aku tidak memberitahu Zafi soal pesan yang diterima Rida dikirim oleh "Musa". Farrel pun melakukan hal yang sama atas titahku, sebab Musa dan Zafi adalah sahabat baik, akan runyam jika Zafi tahu hal ini. Sudah cukup ia gelisah setengah mati karena Rida tadi.

Kami memutuskan untuk membawa Rida ke IGD, dan memang ia mesti diopname setidaknya satu malam. Ia mengalami dehidrasi akut, anemia, dan masalah pencernaan. Tentu saja akarnya dari stres berat yang belakangan ini ia rasakan. Psikiater yang diminta untuk membantu kami pun, mengunjungi Rida di rumah sakit. Meski telah mendapat penanganan dari profesional, aku dan yang lain tetap harus mengawasi Rida.

"Gue balik dulu, ya, Za. Lo jangan lupa makan, besok gue balik lagi gantian sama lo, ya?" ucapku kepada Zafi. Kami tengah di luar kamar rawat, membiarkan Rida beristirahat.

"Hmm."

"Kalau butuh apa-apa langsung bilang ke gue aja."

"Thanks a lot, Nya." Zafi tersenyum. "Lo balik bareng Farrel aja. Udah malem."

"Gue mah gampang, Za."

Kemudian, aku meninggalkan rumah sakit bersama Farrel. Kami berjalan menuju tempat parkir, dan sibuk dengan isi kepala masing-masing.

Jika pelakunya mengaku sebagai Musa, kemungkinan bahwa pelaku sebenarnya adalah pengurus HMK lebih besar. Seseorang yang mengenal baik Bayan dan Musa, hingga bisa menirukan gaya keduanya.

Hanya ada satu orang. Fauzan, alias Bulet. Sepupu dari Bayan, yang juga teman sekelasku. Ia bisa menirukan gaya siapapun, dan memparodikannya.

Tapi, masa iya?

"Nih." Farrel menyodorkan helm, membuyarkan segala yang kupikirkan. Aku menoleh ke sekeliling, penuh dengan motor yang terparkir. Astaga, aku terlalu mengikuti langkah kaki sampai salah arah begini. Niatku, kan, naik ojek sendiri di pintu IGD.

"Ambil, Nya. Gue bawa helm dua, kok," katanya lagi seraya menyodorkan helm tadi lebih dekat.

"Gue naik ojek aja, mau mampir dulu." Aku menolak halus.

"Ya ... gue anter."

"Gak usah."

"Yakin? Lumayan jauh, lho, ke kampus jaraknya. Mahal ntar ongkosnya."

"Eh, bentar." Sesuatu terlintas di kepalaku. "Kan, tadi pelakunya bilang mau nyamperin Rida lagi ke kosannya. Kita ciduk aja, gimana?"

"Gak jadi." Farrel merogoh sakunya, ia memamerkan ponsel Rida yang sudah terbuka kuncinya. "Tuh, dia bilang liat kita pas keluar kosan. Party malam ini gak jadi katanya, udah gila emang."

"Kok lo bisa buka hape Rida?"

"Tadi pas nganter dokter Nanda ke kamar Rida, sekalian gue minta izin. Ini bisa kita bawa buat liat semua chat si pelaku."

Syukurlah. Setidaknya, Rida membantu kami menemukan motif pelaku. Rasanya aneh menyelidiki hal yang bukan wewenang mahasiswa, aku takut akan ada serangan balik pelaku terhadap kami.

"Ya udah, jadi lo mau kemana dulu?" ujarnya.

Sebenarnya itu hanya alibi agar aku tidak perlu pulang bersamanya, sekarang pertanyaan itu malah membuatku bingung harus beralasan apa.

"Yeu, bohong lo, ya? Sengaja ngehindarin gue, ya?" Ia mengejek, seolah tahu apa yang kupikirkan. Sial!

"Apaan, sih."

"Terus kenapa diem? Bener, kan, sengaja jauhin gue, kan?"

Kalau dia tahu alasan sebenarnya, kenapa harus bertanya? Astaga, manusia ini. Belum berubah.

"Iya, emang sengaja!" ketusku pada akhirnya. Farrel terus mengejekku, sementara aku sibuk memeriksa panggilan masuk di ponsel.

Nomor tidak dikenal, tanpa foto profil. Biasanya aku selalu menghindari panggilan seperti ini, namun mulai sekarang aku mesti berani menjawabnya, mengingat nomorku adalah kontak utama pengaduan kekerasan seksual di lingkup mahasiswa ilmu komunikasi.

"Uh, ah, ahh, hng, hmm ... Anya ...."

"Ya, halo? Dengan siapa, ya?"

Farrel bertanya melalui gerak bibirnya, siapa yang menelepon, dan apakah terjadi sesuatu lagi. Aku hanya mengedikkan bahu, meragukan apa yang sebenarnya ingin disampaikan si penelepon.

"Ahhh, huhh, Anya, lo ... ahhh!"

Aku mengecek layar, sinyal di sini baik-baik saja. Durasi panggilan pun bergerak lancar, tetapi mengapa yang kudengar hanya bunyi kerosak dan desahan tidak jelas?

"Halo? Ada perlu apa, ya?" tanyaku lagi.

Tidak ada jawaban. Hanya bunyi decak dan deru napas. Lagi-lagi aku mengecek layar, dan tepat saat itu juga si penelepon meminta untuk mengalihkan ke panggilan video.

Bohong jika aku berkata tidak takut. Aku membiarkan Farrel merapat untuk melihat layar ponsel, dan meliriknya, meminta dukungan untuk menerima panggilan video tersebut.

Seolah tau apa yang kumaksud, ia mengambil ponselku dan menekan tombol hijau. Saat itu juga yang terlihat di layar adalah penis.

Seketika aku memekik dan terlonjak mundur. Kututup mulutku agar tidak membuat keributan di tempat parkir ini.

Ya Tuhan. Aku tak mengerti apa yang kupikirkan sekarang, hanya takut; benci; jijik; dan marah yang bercampur. Emosiku seperti saling berperang di dalam kepala, mereka berebut mana yang paling layak untuk diekspresikan oleh mimik dan gestur, atau untuk sekadar kuucapkan.

Aku ... tak tahu. Aku bingung, aku buntu, aku tersesat. Beginikah rasanya dinodai? Aku ... dijadikan fantasi untuk memuaskan hasrat brengsek seseorang.

Ya Tuhan, ampuni aku, lindungi aku.

"Lo denger gue, kan? Everything's okay, Nya. Lo cuma apes, gak apa-apa," kata Farrel. Entah sejak kapan ia menepuk-nepuk pipiku, dan mungkin memanggil-manggil namaku.

Aku menggeleng lemah. Mencoba mengendalikan diri dengan mengatur napas, meskipun suara di telepon tadi seperti terus menggema di telingaku.

"Kenapa jadi gini, sih?" gumamku pelan.

"Kita duduk dulu, ya." Farrel membawaku duduk di bangku taman, dekat ATM centre yang tidak jauh dari tempat parkir. Ia juga memberiku sebotol air mineral, sambil membantu menenangkan diriku. "Ini hape lo, Nya. Udah gue simpen bukti pelecehan tadi."

Kuambil ponsel itu dengan ragu. Jadi seperti ini perasaan Rida, pantas ia sampai menyuruh kami membuang ponselnya. Seolah-olah ponselku sekarang adalah benda mengerikan dan menjijikan.

"Lo boleh teriak kalau ngerasa marah, Nya. Lo boleh nangis, atau minta tolong buat ngatasin rasa takut lo. Gak apa-apa, mengakui perasaan buruk lo sekarang gak bikin lo rendah."

Farrel membuyarkan pikiranku, dengan serius kujawab, "Ya ... gue takut. Tapi kalau gue takut, apa gue layak bertanggungjawab sebagai penerima aduan korban KS?"

"Kesampingin dulu peran lo sebagai ketua sospol HMK, Anya. Lo terima dulu rasa takutnya sampe lo ngerasa aman. Gak perlu maksain buat menolong kalau lo sendiri butuh pertolongan." Farrel berkata dengan hati-hati, "Lo mau aduin kasus ini, kan?"

"Enggak. Keputusanbuat ngadu atau enggak, ada di gue, kan?"

"Ya, betul." Ia diam sejenak. "Gue tanya lagi, ke Anya as a victim, bukan Anya ketua sospol HMK. Lo yakin bakal mengabaikan telepon onani tadi dan teror kado Barbie?"

Tentu, aku terkejut. Entah dari mana ia bisa tahu kalau aku menerima kado teror itu.

"Gue gak apa-apa. Gue cuma capek, pengen istirahat," sahutku tegas.

Farrel menatapku serius, matanya menyorot tajam seperti mewakili banyak hal yang tertahan di lidahnya. Bersitatap tak dapat kuelakkan, hingga akhirnya ia membuang napas panjang dan berkata, "Ayo, gue anter pulang."

🌻🌻🌻

Re-calledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang