Dia di sana.
Duduk dengan gaya perlente nya yang tak sedikitpun memudarkan aura tampan dan juga tegas yang ia miliki. Lelaki itu, aku mengenal nya sejak belasan tahun lalu.
Namanya Erlangga. Laki-laki blasteran Belanda-Tionghoa-Jawa, yang sejak dulu memang sanggup memikat atensi lawan jenis, bahkan disaat ia tak melakukan apapun. Duduk diam saja sudah berhasil membuat para gadis berteriak tertahan, ingin dijadikan obyek tatapan mata elang nan tajam milik Erlangga. Meskipun ia memiliki darah tionghoa, namun matanya sangat bulat dengan dinaungi sepasang alis tebal nan hitam yang mampu membuat gadis-gadis sesak napas melihatnya. Dan pesona itu tak berubah sedikitpun, bahkan semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.
Di usia kami yang ke dua puluh tujuh, Erlangga pasti sudah menjadi sosok lelaki sukses yang bisa dengan mudah memilih siapa saja wanita yang hendak ia jadikan pasangan. Tak sulit baginya. Dan sungguh berbanding terbalik denganku.
Aku Eirinda, teman-teman biasa memanggilku 'terong', atau 'karung beras' karena tubuhku yang subur sejak kecil. Kala menjadi siswa dulu, berat tubuhku bahkan menyentuh angka enam puluh. Masa kelam di mana semua kesedihan menerpa keseharianku.
Banyak rundungan yang kuterima sepanjang menjalankan masa dua belas tahun wajib belajar yang dulu kujalani. Tangis bahkan sudah tak terhitung jumlah nya, saking terlalu sering aku menumpahkan air mataku untuk manusia-manusia paling sempurna kala itu.
Memasuki masa kuliah, aku tak bisa menyelesaikan pendidikanku karena adanya perundungan dari para dosen pembimbingku. Kala itu aku sangat hancur. Dosenku memberikan kata-kata yang paling hina untukku yang tengah berjuang menyelesaikan pendidikanku. Memberi kata-kata yang tak seharusnya seorang pendidik berikan kepada murid yang tengah ia bimbing. Aku hancur. Melewati enam bulan penuh siksaan karena kata-kata itu berimbas pada mentalku yang memang sejak dulu tidak pernah baik-baik saja. Aku bolak-balik konsultasi ke psikiater, menenggak obat-obatan yang mampu membuatku 'waras' untuk sejenak, tanpa pernah orang tua ku tahu.
Karena sesungguhnya, orangtua ku pun tak pernah benar-benar peduli denganku. Hidup dengan orang tua yang seolah memiliki dunia mereka sendiri memang mengharuskan anak-anaknya untuk mandiri dan bersikap masa bodoh. Dan aku pun sudah masa bodoh dengan sikap mereka, meski terkadang aku masih sering sedih jika melihat bagaimana respon mereka terhadap kondisi putrinya yang seolah bak angin lalu.
Dan kini, setelah bertahun-tahun terpisah, aku kembali dipertemukan dengan Erlangga. Lelaki yang selalu menghuni relung hatiku. Aku tipe setia. Tidak pernah berpaling pada cinta yang kurasakan untuk laki-laki yang mampu merebut hatiku.
Namun aku hanya bisa tersenyum kecut kala melihat kondisi kami berdua. Erlangga datang dengan tiga stel pakaian mahalnya, sedangkan aku memakai pakaian seragam khas pegawai cafe yang kini didatangi Erlangga.
Kami bertemu, bahkan berinteraksi karena aku memang berjaga di kasir, melayani pesanan Erlangga yang tadi meminta segelas teh kiwi dingin. Erlangga tidak suka kopi, aku tahu itu. Sebab itu lah aku tidak kaget dengan apa yang ia pesan.
Aku gugup setengah mati ketika melayaninya, namun tidak dengan Erlangga. Dia sepertinya tidak mengenaliku meskipun tadi sempat kulihat sepintas bagaimana tatapan Erlangga ketika aku sedang membuatkan pesanannya. Tak ada hal berarti. Hanya membayar dan mengucapkan terima kasih ketika aku mengasongkan segelas teh kiwi dan juga croissant ayam untuk temannya menghabiskan waktu. Lagipula, apa yang kuharapkan? Berharap kalau Erlangga akan tersenyum lebar dan memelukku penuh kerinduan? Rasanya sangat berlebihan.
"Terima kasih banyak sudah datang ke Cafe Senja. Selamat menikmati." Aku dengan canggung mengucapkan slogan yang selama ini sudah fasih kuucapkan di luar kepala. Tapi yang kini di depanku adalah Erlangga. Aku sesak napas ketika melihat senyum nya kala menanggapi ucapanku.
"Terima kasih juga." Suaranya berat dan dalam. Suara yang pasti membuat lutut wanita manapun goyah ketika di sapa oleh lelaki adonis itu.
Harapanku, setelah Erlangga selesai memesan, cafe akan ramai dan aku bisa sejenak saja mengalihkan mataku dari sosok nya yang sempurna. Namun sepertinya, Tuhan tidak berpihak padaku. Tiada satu pelanggan pun yang datang usai Erlangga memesan dan sedang duduk manis menikmati pesanannya. Aku frustasi, karena aku terus menatapnya tanpa bisa berhenti barang sedetikpun.
Salwa, teman kerjaku bahkan sudah berkali-kali menegurku karena katanya aku seperti hendak menggelindingkan bola mataku kala menatap Erlangga.
Tapi untungnya, jam kerjaku akan berakhir dalam sepuluh menit mendatang. Aku bisa sedikit mengisi paru-paruku dengan udara segar setelah sejak tadi terus menahan napas menatap Erlangga.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, aku lekas membuka apron yang memang menjadi standar wajib pegawai dan menitipkan kasir ke salah satu rekanku yang akan melanjutkan shift kerjaku hari ini.
Di depan loker aku menundukkan wajah, menahan air mata yang tiba-tiba saja mendesak untuk keluar. Aku menangis dalam diam, merutuki hatiku yang masih saja menyimpan sosok lelaki yang jelas tak akan pernah bisa kumiliki. Ia bahkan tak mengenaliku. Sangat lain denganku yang setelah bertahun-tahun pun tetap tidak bisa melupakan bagaimana sosoknya.
Ayolah Eirinda, memang nya apa yang kamu harapkan? Jadilah perempuan dewasa yang realistis. Dia hanya teman di masa sekolahku. Dan yang terpenting adalah....dia tidak akan pernah menyukaiku.
Bersambung
Halo. Kali ini saya bawa cerita baru yang kisahnya based on true story perjalanan hidup saya sendiri. Nggak sama persis, tapi nyaris sama. Sudah cukup lama saya bergelut sedih dan gelisah sampai nggak bisa produktif bikin cerita2 baru karena selalu terkekang sedih dan juga gelisah.
Melalui cerita kali ini, meskipun saya tidak berharap banyak dengan respon kalian, tapi saya hanya ingin punya tempat berbagi cerita karena saya sejatinya tidak punya teman. Cuma keluarga yang saya punya, dan itu pun sudah terlalu sering saya bagikan keluh kesahnya.
Disini saya nggak memelas, nggak juga mencari perhatian. Saya hanya mau berbagi sedikit cerita perjalanan masa lalu saya, yang sakit dijalani, tapi cukup indah jika dikenang.
Bagi kalian yang suka cerita kali ini, saya hanya berharap dukungan tulus dari kalian. Kali ini saya ngga memaksa minta vote dan komen. Saya pasrahkan ke kalian atas kesediaan kalian berbagi apresiasi untuk saya.
Selamat membaca perjalanan hidup saya. Saya ambil kejadian ini sejak tahun 2011, di mana saya pertama kali menginjak bangku SMA dan punya kenangan manis pahit yang saya rangkum dalam cerita kali ini.
02 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi atau Kembali?
RomanceBASED ON TRUE STORY. Banyak orang bilang, pertemuan adalah sebuah takdir. Jika banyak orang yang mengasumsikan hal itu, apakah pertemuanku kembali dengan Erlangga bisa disebut sebagai sebuah takdir? Lantas, apakah aku harus pergi, atau aku harus kem...