"Mbak Ei kenapa sih kemaren? Tumbenan lho ngeliatin customer sampe segitunya."
Aku yang sedang menghitung uang di kasir terinterupsi oleh pertanyaan Salwa. Rasanya wajar sih kalau Salwa sampai menanyakan hal ini. Rekan kerjaku ini tahu betul bagaimana profesionalnya aku saat bekerja. Dan menatap customer tanpa ada alasan yang jelas tentu bukan SOP yang baik untuk di lakukan.
"Masa sih? Aku nggak gitu kok." Kilahku.
"Ck, orang lewat aja bisa langsung ngeh kalo Mbak kemarin tuh ngeliatin si ganteng sampe nyaris melotot." Salwa tiba-tiba terkikik sendiri. "Tapi wajar sih Mbak. Dia ganteng bangettt. Buset deh, itu setara sama Mario Maurer Mbakkk. Tangkapan gede tau."
Aku tertawa sambil menghitung uang pecahan dua puluh ribuan. "Dikira mancing kali sampe ada tangkepan gede segala. Nggak lah Sal. Perasaan kamu aja."
"Ish, itu valid ya Mbak. Kemarin kan pas Mbak melotot gitu, cuma ada dia yang duduk di cafe ini. Tumbenan banget sepi dan cuma dia doang. Biasanya mau duduk aja pelanggan sampe antri."
Hitunganku terhenti sejenak. Kalau di pikir-pikir, benar juga. Biasanya, cafe akan ramai dari jam makan siang sampai waktu tutup. Kemarin, benar-benar sepi dan hanya ada Erlangga yang datang. "Iya juga ya."
"Nah kan? Aneh kan?" Salwa menggebu menimpali gumamanku. "Tapi ya Mbak, malah keadaan kemarin tuh bikin aku halu. Bayangin kaya di wattpad-wattpad gitu yang cowoknya rela nyewa seharian cafe yang dia datengin biar bisa berduaan aja sama cewek pujaannya. Duh sweet banget kan Mbak."
"Kurangin halumu, Sal. Ini real life, bukan dunia penuh cinta romantis."
Salwa berdecak dan segera meraih pembersih kaca, memilih meninggalkanku untuk mengelap kaca pintu dan sekaligus jendela. Cafe tempatku bekerja memang keseluruhan bangunannya nyaris menggunakan kaca, memberikan efek luas dan estetika yang mampu menarik pengunjung. Kebanyakan pelanggan cafe ini memang kawula muda yang hobi mencari spot nongkrong estetik. Tak heran kalau semakin malam, cafe ini akan semakin ramai.
Suara lonceng di pintu dan sambutan tertahan dari Salwa mengurungkan niatku untuk menata rapi uang yang tersimpan di mesin kasir. Aku segera berdiri dan menyiapkan senyum terbaik untuk menyapa pelanggan.
Tapi senyumku luntur saat aku lagi-lagi menatap Erlangga yang sedang berdiri di depanku.
"Selamat datang di cafe Senja. Mau pesan apa Kak?"
Erlangga menatapku. "Ada rekomendasi teh dan savory food?"
Aku meneguk ludah dan mengangguk pelan. "Ada kak. Di sini untuk varian teh, best seller nya teh lemon mint. Dan buat savory food nya, ada godzilla burger dan shawarma kebab."
Erlangga masih menatapku. "Kamu suka yang mana? Burger atau kebab nya?"
"Saya suka kebab nya kak."
Kepala Erlangga mengangguk. "Oke. Saya pesan shawarma kebab nya sama teh lemon mint."
Aku segera menginput pesanan Erlangga. "Baik. Saya ulangi pesanannya ya kak. Satu teh lemon mint dan satu shawarma keb..."
"Dua. Saya pesan dua. Dua teh sama dua kebab."
Tanganku bergerak merevisi pesanan. "Saya ulangi ya kak, dua teh lemon mint dan dua shawarma kebab. Total nya jadi sembilan puluh enam ribu kak. Pembayarannya cash atau debit kak?"
Erlangga memberikanku kartu debit nya yang segera ku proses. "Ini kartunya saya kembalikan ya kak. Nanti pesanannya akan di antar ke meja. Terima kasih banyak kak."
Erlangga menerima kembali uluran tanganku yang berisi kartu debit nya tanpa ada niat beranjak. "Eirinda."
Deg.
Jantungku rasanya hendak lepas dari tempatnya ketika suara berat nya menyebutkan namaku. Serbuan kenangan masa remajaku memenuhi otak, nyaris membuatku muntah karena datang nya sungguh keroyokan.
"I-Iya?"
Erlangga tersenyum menatapku. "Bisa kamu yang antar pesanannya nanti? Di meja paling sudut."
Rasanya aku ingin berteriak tidak bisa, tapi aku tidak ingin membuat customerku merasa tidak di hormati. Astaga, aku harus bagaimana?
"Tapi..."
"Aku mau ngobrol sama kamu, Ei. Mumpung masih sepi."
Kepalaku bak tertusuk ratusan jarum. Tapi mau tak mau, aku harus menyanggupi permintaan customer. Maka dari itu, aku terpaksa mengangguk. Ada kilat aneh di mata Erlangga ketika aku menyanggupi permintaannya.
"Baik. Nanti akan saya antar ke meja paling sudut ya."
Leherku seperti tercekik. Apalagi saat Salwa menatapku penuh arti. "Kok lama banget pesennya Mbak? Ngeborong apa gimana nih?" Goda bocah itu tanpa dosa.
"Diem dulu deh Sal. Aku lagi pusing nih."
"Iyalah pusing, orang dipepet terus sama si ganteng. Kalo aku yang jadi mbak juga bakal pusing sih. Sawan pengen buru-buru di kawinin."
Aku melotot dan segera menyuruh Salwa membuatkan pesanan Erlangga. Tidak lama sih. Hanya kurang dari sepuluh menit. Dan ketika Salwa memberi nampan berisi pesanan Erlangga, tanganku malah gemetar.
Tapi aku harus tetap melayani permintaan khusus Erlangga. Maka dengan itu, aku melangkah sambil terus menarik napas. Ayolah, Erlangga itu teman baikmu semasa sekolah. Hanya karena satu kenangan menyakitkan, tidak akan mampu menghapus semua kebaikannya di masa lalu.
Erlangga yang sedang memainkan ponsel lantas segera meletakkan gawainya itu ke meja ketika melihatku. Ia bahkan membantuku meletakkan nampan ke meja. Aku menarik kursi dan duduk dengan canggung di depannya. Pakaian kami berdua bahkan sangat kontras. Aku mirip upik abu, sedangkan Erlangga benar-benar tampan dengan setelan formalnya.
"Apa kabar Ei?"
"Nggg..baik." Aku bahkan bingung baik yang kujawab ini dalam artian apa. Karena setelah kehidupan kejamku di masa lalu, aku nyaris tidak pernah baik-baik saja.
Erlangga menatapku lekat. Tampak seperti tidak percaya dengan jawabanku. Ia meraih gelas berisi teh lemon mint dan menyesapnya. "Kamu menghilang, Ei."
Aku gelisah di tempatku duduk. Tidak tahu harus menjawab apa.
BERSAMBUNG
Haii semua.
Long time no see ya? Jadi saya baru bisa update sekarang. Semua karya saya terbengkalai karena ada gangguan yang bikin saya nggak bisa produktif.Kalo masih ada yang stay setia sama cerita ini, mohon ramaikan ya.
5 Oktober 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi atau Kembali?
RomanceBASED ON TRUE STORY. Banyak orang bilang, pertemuan adalah sebuah takdir. Jika banyak orang yang mengasumsikan hal itu, apakah pertemuanku kembali dengan Erlangga bisa disebut sebagai sebuah takdir? Lantas, apakah aku harus pergi, atau aku harus kem...