02

168 44 11
                                    

Suasana hiruk pikuk kelas sama sekali tidak membuatku terganggu. Aku sedang kelelahan hari ini karena dipaksa membereskan seluruh isi rumah kakakku, tempat di mana aku menumpang hidup selama melanjutkan masa SMA yang kebetulan ada di luar kota di mana keluargaku tinggal.

Jujur aku sudah lelah. Sudah 2 tahun aku menumpang dan aku bagaikan sapi perah yang selalu saja disuruh ini itu tanpa henti, tak peduli jam berapa dan tak peduli meskipun aku harus berangkat lebih awal karena jarak rumah ke sekolah yang sangat jauh. Belum lagi aku sungguh kelaparan karena jarang ada makanan di rumah dan juga uang saku hanya dua ribu rupiah, di luar ongkos naik angkutan umum. Aku bahkan kesulitan membeli shampo sachet karena uang jajanku yang super minim itu, namun aku tak berdaya untuk protes. Aku tak ingin lagi mendengar kakakku yang selalu memandangku sebagai beban, sedangkan aku tahu dia hidup dengan amat berkecukupan. Aku terpaksa bersekolah jauh dari orang tua karena saat itu orang tua ku sedang dalam keadaan memprihatinkan karena usaha kami di ambang kebangkrutan.

Aku lapar. Aku lelah dan aku lemah. Tak ada menu makanan lezat yang bisa kusantap selain mie instan. Dalam seminggu, aku terus menerus mengonsumsi mie instan minimal empat belas kali. Dengan uang saku dua ribu, aku tak bisa berbuat banyak. Hanya terkadang jika kakakku sedang berbaik hati, ia akan membelikanku ayam goreng krispi kesukaanku yang sangat kusyukuri.

Di saat lemah tubuhku, aku masih harus mendengar olokan para lelaki yang sedang membicarakan bentuk tubuhku. Membandingkan bulat nya tubuhku dengan semangka yang semalam dibeli oleh salah satu ibu dari komplotan brengsek itu. Aku menangis. Menyembunyikan tangisku di balik tangan yang kujadikan tumpuan di atas meja. Dirumah aku tersiksa, di sekolah pun aku tersiksa. Tidak ada yang bisa kujadikan tempat pelarian. Aku nyaris gila. Aku hendak menyerah, tapi aku sudah setengah jalan. Satu tahun lagi aku akan lulus, dan sebisa mungkin aku akan bertahan dengan keadaan yang mampu membuatku gila ini.

Ketika olokan itu mulai melibatkan fisik dengan mereka yang mulai melempariku dengan bola kertas, disitulah aku mendengar suara tajam seorang lelaki yang sejak pertama kali aku menjadi siswa baru sudah berhasil menyita perhatianku.

"Bisa diem nggak? Kalian ini laki-laki, tapi mulutnya nggak jauh beda sama perempuan. Sama-sama berisik!" Ujaran tajam itu dibalas keheningan kelas. Tidak ada yang berani membalas ucapan seorang Erlangga. Dia adalah lelaki dengan aura yang sedikit menakutkan. Meski kami semua seumuran, tapi seperti ada aura lain yang membuat Erlangga begitu di segani.

Aku terdiam mendengarkan. Dan kediamanku diganggu oleh senggolan pelan Klarisa, salah satu sahabat baikku sejak awal bersekolah.

"Aku hutang budi sama Erlangga karena udah bantu belain kamu, Ei." Ucapnya lirih penuh kelegaan. Aku mengangkat sedikit kepalaku dan tersenyum tipis.

"Dia bukan belain aku. Dia cuma nggak mau kelas ini berisik. Pak Andri kan galak, kita cuma ditinggal rapat sebentar tapi udah kaya pasar kelas nya." Kilahku mencoba tidak memberi harapan pada diriku sendiri. Aku tahu aku tidak boleh berharap muluk-muluk. Erlangga tidak akan pernah sepadan dengan upik abu sepertiku yang selalu datang ke sekolah dengan keadaan lesu dan pucat karena lapar.

"Tapi seramai apapun, Erlangga nggak pernah protes kok. Tapi setiap kamu yang diolok, Erlangga selalu begitu. Bantuin kamu tanpa ketahuan mereka." Tutur Klarisa menolak alasanku.

Aku tak menggubrisnya lagi. Ucapan Klarisa menyadarkanku kalau Erlangga memang tak pernah peduli akan berisiknya suasana kelas. Tapi setiap mereka mulai mengolokku, Erlangga langsung akan berseru keras, meminta mereka diam. Persis seperti apa yang baru saja ia katakan. Hatiku berdebar hebat. Benarkah Erlangga membantuku?

Lalu siang nya, ketika Klarisa izin mengikuti latihan olimpiade, aku yang tak pernah ingin jajan karena membutuhkan uang jajan ini untuk membeli mie sepulang sekolah nanti, seketika terkejut ketika melihat Erlangga yang sudah duduk persis berhadapan denganku. Menyodorkan sekotak susu rasa coklat dan juga sebungkus siomay.

Aku mengerjap kaget. Saat ini memang sudah masuk jam istirahat, dan hanya aku yang ada di dalam kelas. Aku tak menitip apapun pada Erlangga. Tapi kenapa ia memberiku semua ini?

"Er, ini...."

"Ayo di makan. Aku temenin." Ujarnya santai sambil menggigit ujung plastik dan memakan lahap siomay nya. Erlangga juga membeli sekotak susu full cream. Menu yang sama persis dengan yang ia berikan padaku. Kecuali rasa pada susu kotak nya.

Aku menatap gamang sajian di hadapanku. Bagaimana caranya aku mengganti ini semua? Uang jajanku hanya dua ribu, tapi harga siomay nya saja sudah lima ribu. Belum susu kotaknya.

Melihatku yang masih terdiam tanpa pergerakan, membuat Erlangga berhenti mengunyah. Ia meletakkan plastik berisi siomay nya dan membukakan simpul plastik siomayku. Menyodorkanku sebutir siomay ikan, bahkan hendak menyuapiku.

"Aaa. Ayo di makan. Jam istirahat tinggal sepuluh menit lagi." Bujuknya, dan aku patuh seketika. Aku mengambil alih plastik itu dan mengunyahnya kelaparan. Ya Tuhan, nyaris dua tahun aku tak merasakan makanan lain selain mie dan terkadang ayam goreng, dan aku seperti menemukan oase di tengah terik dan kering nya gurun. Tanpa sadar mataku memanas dan meluncurkan titik air mata, yang sialnya tak luput dari pandangan Erlangga. Lelaki itu meletakkan plastik siomay nya dan membantuku menusuk kotak susu sebelum ia sodorkan padaku.

"Enak banget ya sampe nangis gini." Kata-katanya datar, tapi usapan tangannya di pipi untuk mengusap air mataku begitu pelan dan lembut. Bukannya berhenti, air mataku justru makin deras mengalir.

"Maaf." Kataku tersendat. "Aku nggak bisa bayar ini sekarang. Kasih aku waktu seminggu dan bakal aku lunasi semua."

Erlangga tersenyum tipis. Ia menusuk sedotan ke kotak susunya, menyesap susu kotak itu rakus. "Nggak usah diganti. Nggak sampe puluhan ribu kok. Di makan aja. Anggep aja aku traktir kamu."

Coba bayangkan, sekuat apa hatiku jika sampai tidak luluh pada perhatiannya yang sederhana namun membekas seperti ini?

Lalu kami berdua menghabiskan siomay dalam keheningan. Hening yang terasa melenakkan. Aku dan Erlangga sama-sama menghabiskan susu kotak kami, dan Erlangga membantuku membuang plastik sisa siomay beserta susu kotak yang sudah habis tak bersisa. Perutku terasa kenyang, namun hatiku lebih daripada bahagia. Akhirnya, ada seseorang yang memperhatikanku, dan mirisnya, dia bukan keluargaku. Perhatiannya sederhana, namun berarti besar untukku yang terlampau lelah menghadapi dua tahun terberat di hidupku.

"Makasih banyak ya Er. Maaf aku ngerepotin kamu." Ujarku cepat kala Erlangga sudah hendak menuju ke bangku nya. Lelaki itu tersenyum kecil dan mengangguk.

"Besok lagi makan bareng ya. Aku nggak sadar bisa habisin siomay waktu barengan sama kamu."

Dan ucapan ringannya seketika membekukan darahku. Apa katanya? Dia hendak makan bersama denganku, lagi? Si terong besar ini?

Dan kejutan tidak berhenti sampai disitu. Ketika Klarisa terpaksa berpamitan lebih dulu karena dijemput oleh ayahnya, aku yang sedang lemas tak segera berkemas. Aku juga sembari menunggu kelas agar lebih sepi. Mengurangi olokan temanku yang bisa meningkat jika jam pulang sekolah usai. Mereka terkadang bisa merundungku bahkan hingga di pinggir jalan sekalipun.

Melihat suasana yang mulai kondusif, aku lantas mulai memasukkan sebuah buku, ketika tiba-tiba tas ku dirampas cepat. Aku hendak mengomel, namun tertahan di bibir kala mengetahui kalau pelakunya adalah Erlangga. Lelaki itu tanpa ekspresi membantuku memasukkan buku-buku sekaligus memeriksa laci meja ku untuk memastikan tidak ada lagi buku yang tertinggal.

"Udah beres. Yuk pulang." Sekali lagi, Erlangga nyaris merenggut napasku ketika ia memutar tubuhku membelakanginya dan membantu memakaikan tas di punggungku.

Aku terdiam sepanjang langkah menuju gerbang, pun ketika harus berpisah dengan Erlangga karena ia harus menuju ke parkiran motor, sedangkan aku harus menunggu angkutan yang bisa membawaku lebih cepat sampai ke rumah. Aku gelisah. Namun juga sangat berdebar penuh kegembiraan. Ya Tuhan, apakah Erlangga menyukaiku? Apakah ia seperhatian itu karena ia menaruh rasa padaku?

Bersambung.

Momen Eirinda di chapter ini sama Erlangga beneran kejadian yang saya alami dan membekas sampe skrg di sudut hati terdalam saya. Sampe kapanpun, sosok 'Erlangga' ini bakal selalu hidup dalam kenangan saya. Dia orang yang spesial dalam perjalanan hidup remaja saya.

Buat 'Erlangga', dimanapun kamu berada saat ini, terima kasih sebesar2nya buat kebaikan kamu di masa putih abu2 kita dulu. Perbuatan yang menurutmu kecil itu berarti banyak buat saya. Salam rindu buatmu, lelaki baik🤍

03 Mei 2023

Pergi atau Kembali?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang