Chaewon menghela nafasnya kasar, menatap langit-langit kamar rawatnya dengan pandangan lelah. Chaewon lelah, harus terus terkurung didalam ruang rawatnya tanpa bisa keluar. Ia lelah, karena terus menerus mencium aroma obat-obatan yang begitu menyengat.
Ia juga lelah, merasakan sakit kala cairan kimia itu disuntikan kedalam tubuhnya. Membuat rasa sakit menjalar diseluruh tubuhnya, rasa sakit yang membuat Chaewon ingin mati.
Sungguh, ia benar-benar lelah. Beberapa kali, fikiran untuk mengakhiri dirinya sendiri muncul di otaknya. Toh, penyakit yang ia derita juga pada akhirnya akan membuatnya pergi. Daripada memperpanjang rasa sakitnya, lebih baik mempersingkatnya.Hanya saja, Chaewon terlalu takut. Ia takut, saat ia mengakhiri dirinya sendiri, Tuhan tidak mau menerimanya dan memutuskan untuk mengembalikannya kedunia. Membuat rasa sakitnya bertambah berkali-kali lipat.
Pada akhirnya, yang bisa Chaewon lakukan adalah bertahan. Bertahan dari rasa sakit, bertahan dari segala fikiran buruk, bertahan dari waktu yang kian mendekat.
Chaewon hanya bisa pasrah. Keinginannya untuk berjuang sudah tak ada. Rasa sakit benar-benar sudah menghapus seluruh keinginannya untuk berjuang. Dan tak seorangpun bisa mengembalikannya. Tidak ibunya, tidak ayahnya, tidak juga adiknya.
Tidak seorangpun, kecuali seorang perempuan berambut abu-abu, yang selalu duduk ditaman saat hari cerah pukul 4 sore.
Chaewon selalu bisa menemukan perempuan itu dari jendela kamarnya. Perempuan itu selalu duduk di tempat yang sama. Melakukan hal yang sama, dengan ekspresi yang sama.
Chaewon tak tau, sejak kapan ia mulai memperhatikan perempuan itu. Dan semakin ia memperhatikan, semakin besar keinginannya untuk mendekat.
Namun, Chaewon tau. Orangtuanya tak mungkin mengizinkannya untuk pergi kesana. Terlebih, setelah penyakit yang dideritanya membuat kakinya lumpuh.
Chaewon menderita kanker otak stadium akhir, yang mana kanker tersebut sudah berhasil menggerogoti kakinya hingga tak bisa bergerak. Karena itu juga, ia terkurung di ruang rawatnya tanpa bisa pergi.
Biasanya, Chaewon hanya akan mengeluh karena tak bisa keluar, tanpa benar-benar ingin pergi. Tetapi, semenjak matanya mulai memperhatikan perempuan itu, rasa ingin keluar itu kembali muncuk.
Maka, setelah mengumpulkan tekat, ia menoleh kearah ibunya yang tengah makan di sofa.
"Ibu," panggil Chaewon pelan.
Ibunya menoleh, menatap Chaewon bingung sebelum meletakan sumpit ditangannya dan menghampiri Chaewon. "Hmm? Kau mau sesuatu?"
Chaewon terdiam. Kepalanya menoleh keluar, menatap perempuan itu yang sudah duduk diatas kursi roda, ditempat biasa ia duduk. "Apakah... Apakah aku boleh pergi ke taman?"
*
Chaewon tak tau, apakah keputusannya tepat atau tidak. Tapi, setelah ibunya membawanya ketaman, dengan nekat ia menggerakan kursi roda miliknya, mendekati perempuan itu.
Namun, begitu sudah ada didekatnya, Chaewon hanya diam. Ia bingung, tak tau harus berkata apa. Satu-satunya alasan dia ada disana adalah, nekat. Ia tak benar-benar tau apa yang ingin dibicarakannya.
Perempuan itu, merasakan ada orang didekatnya, sontak menoleh. Menatap lurus ke arah Chaewon, seraya mengerung bingung.
"Eung, hallo." Ucap Chaewon pelan. "Uhh, sebelumnya maaf. Tapi, aku selalu melihatmu disini. Jadi.. Aku.. Hmm, ingin menyapamu."
Perempuan itu menatap Chaewon bingung, "hmm, tapi aku tidak pernah melihatmu disini?"
"Ah, aku melihatmu dari ruanganku. Disana," Chaewon menunjuk jendela ruang rawatnya. "Omong-omong, aku Chaewon. Kim Chaewon."
"Aku Miyawaki Sakura," ucap perempuan itu. "Kau... Sudah lama disini?"
Chaewon mengedikan bahu, "sejauh yang aku ingat, masa remajaku kuhabiskan disini. Kau?"
Sakura menggeleng, "aku sebelumnya dirawat di Fukuoka, Jepang. Aku tinggal disana. Hanya saja, penyakitku semakin parah. Membuat dokter yang nerawatku menyarankan agar aku dipindahkan kesini."
"Tapi Bahasa Koreamu cukup bagus.""Aku memiliki beberapa teman Korea, dan setelah beberapa tahun berhubungan dengan mereka, bahasa Korea seolah menjadi bahasa keduaku."
"Begitu."
Setelahnya, Chaewon dan Sakura memulai percakapan mereka. Dari percakapan itu, Chaewon tau kalau Sakura lebih tua dua tahun darinya. Ia juga tau kalau Sakura berada disana karena penyakit yang sama dengannya, hanya saja tubuh Sakura yang lemah membuat penyakit perempuan itu menjalar lebih cepat.
Chaewon juga tau kalau Sakura suka langit. Itulah alasan utama mengapa Sakura suka berada ditaman. Sakura juga suka menuljs, karena itu ia selalu membawa buku, dimana isinya adalah hasil tulisannya. Sakura sempat menunjukan beberapa tulisannya pada Chaewon, membuat Chaewon terkesan dengan bakat gadis itu..
Dari percakapan itu juga, Chaewon tau kalau ia menyukai Sakura.
Chaewon sadar, perasaannya hanya sia-sia, mengingat kondisinya juga Sakura. Tapi, Chaewon senang. Karena pada akhirnya, ia bisa merasakan apa itu jatuh cinta. Meskipun dalam kisahnya dan Sakura tak akan pernah ada kita, setidaknya Chaewon senang memiliki perasaan itu.
Sejak saat itu, jika keadaannya memungkinkan, maka setiap pukul empat sore, Chaewon akan pergi ke taman. Sekedar mengobrol dengan Sakura, atau menemani perempuan itu menggambar. Terdengar membosankan, tapi terasa sangat menyenangkan bagi Chaewon.
Tak terasa, sudah 3 bulan keduanya saling kenal. Selama 3 bulan itu, meskipun terkadang mereka tak bertemu selama hampir duaminggu, keduanya tetap rutin bertemu ditaman ada pukul empat, jika tak ada halangan.
Kedua orangtua mereka pun sudah saling mengenal, dan membiarkan anak-anak mereka berteman. Setidaknya, keduanya memiliki seseorang untuk diajak bicara.
"Chaewon," panggil Sakura tiba-tiba. Seperti biasa, keduanya sedang berada ditaman. Memperhatikan burung yang bermain disekitar air mancur ditengah taman.
"Hmm?"
"Besok kau akan operasi, kan?"Chaewon menatap Sakura aneh, namun tak ayal tetap mengangguk. Besok Chaewon memang dijadwalkan untuk operasi bypass untuk jantungnya karena kanker membuat jantungnya kesulitan memompa darah.
"Hmm, kenapa?" Tanya Chaewon bingung.
"Tak tau. Hanya saja.... Aku merasa ini terakhir kali aku akan melihatmu. Seperti.... Waktuku telah tiba."
Chaewon terdiam, tak menjawab apapun. Ia diam, karena sesungguhnya, ia juga merasakan itu. Ia merasa, saat ia masuk keruang operasi besok, ia tak akan bisa melihat Sakura lagi. Perasaan itu mencengkram hatinya kuat, membuat ia tanpa sadar menjadi takut. Takut akan hal yang tidak diketahui.
"Sejujurnya, aku juga merasakan hal itu. Hanya saja, aku bingung untuk mengucapkannya." Aku Chaewon. "Begini saja. Kita tulis surat, aku akan menulis untukmu, dan kau akan menulis untukku. Tujuh hari dari sekarang, jika kita masih diizinkan membuka mata, kita akan membawa surat itu dan membacanya disini. Sambil menulis, kita berdoa kepada Tuhan, agar diberi waktu sedikit lagi untuk berpisah. Bagaimana?"
Sakura terdiam agak lama, sebelum menganggukan kepalanya seraya bergumam, "baiklah."
Maka, malam itu, Chaewon meraih bukunya. Menuliskan kalimat demi kalimat yang ingin ia ucapkan pada Sakura. Menuliskan segala perasaannya pada Sakura, seraya berdoa agar Tuhan mau memberinya waktu untuk mengatakan perasaannya secara langsung kepada Sakura.
Namun, semakin ia menulis, semakin kuat rasa takut itu mencengkram hatinya. Jika sebelumnya rasa takut itu diakibatkan oleh ia yang tak akan bisa bertemu Sakura lagi, kali ini rasa takut itu disebabkan oleh perasaan kalau ia tak akan lagi bisa membuka matanya.
Sama seperti Sakura, ia merasa kalau.... Waktunya sudah dekat.
Meski begitu, ia tetap berdoa. Berdoa agar Tuhan mengabulkan permintaan terakhirnya.
Tetapi, rasa takut yang melanda, membuat Chaewon tanpa sadar membuat surat untuk seluruh orang yang ia sayangi.
*
Keesokan harinya, Chaewon sudah siap untuk dioperasi. Didepan ruang operasi, ibu, ayah, adik, juga sahabatnya memberikan dukungan serta doa. Semuanya berharap, agar operasinya berhasil.
Chaewon juga sama. Jauh di dalam hatinya, ia berharap agar operasi ini berhasil dan ia bisa sadar. Meski hanya sebentar, ia sangat berharap jika ia bisa mengatakan perasaannya kepada Sakura.
Ia terus berdoa, menggumamkan berbagai harapan, bahkan hingga akhirnya kesadarannya mebghilang karena obat bius, harapan demi haraoan terus keluar dari mulutnya.
***
Tujuh hari.
Waktu yang dibutuhkan oleh Chaewon untuk sadar adalah tujuh hari.
Dan ketika sadar, Chaewon tau kalau Tuhan mengabulkan permintaannya. Tuhan mengizinkannya untuk bertemu Sakura, dan mengatakan perasaannya.
Maka, ketika matanya membuka sempurna, ia meminta untuk bertemu Sakura. Ia mengabaikan segala rasa sakit yang ada ditubuhnya, mengabaikan ucapan orang-orang disekitarnya.Namun, sebuah fakta membuatnya membeku.
Tujuh hari lalu, Sakura pergi lebih dulu menemui Tuhan.
Iya, bersamaan dengan Chaewon yang masuk ke ruang operasi, kondisi Sakura drop hingga akhirnya dokter menyatakan kalau Sakura sudah pergi.
Tujuh hari.
Sama seperti janji mereka. Yang membedakan, tak akan ada Sakura untuk membaca surat bersamanya.
Chaewon hanya bisa berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Bahkan saat dadanya berdenyut nyeri yang dibarengi dengan mesin EKG berbunyi nyaring, ia hanya diam.
Beberapa saat kemudian, ia tersenyum kecil.
Ia tersenyum, karena Tuhan benar-benar mengabulkan permohonannya.
Ia tersenyum, karena Tuhan mengirim Sakura untuk menjemputnya.
Ia tersenyum, karena Tuhan mengizinkannya untuk bersama Sakura, meskipun jika itu artjnya keduanya harus pergi menemui Tuhan.
Dengan senyum yang masih tercetak dibibirnya, Chaewon menutup mata, diiringi dengan garis lurus yang tercipta di layar EKG.
Dengan senyum yang masih tercetak, Chaewon meraih tangan Sakura. Lalu, sambil bergandengan, mereka berjalan beriringan, menuju rumah baru mereka di alam yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Compilation
FanfictionJust a bunch of Miyawaki Sakura-centric (and some of Le Sserafim) Short Story.