We were five when we met.
Callista masih ingat dengan jelas, pertemuan pertamanya dengan Sherina. Saat itu, Callista yang bertubuh kecil, dijahili oleh anak-anak lain saat sedang bermain di taman. Sebagai anak perempuan dengan tubuh kecil, Callista tentu tidak bisa membalas perbuatan anak-anak itu. Jadi, yang ia lakukan hanya satu―menangis.
Siang itu, Callista menangis dengan keras. Ia menangis, dan terus menangis, berharap tangisannya mampu membuat ayah ataupun ibunya datang. Atau setidaknya, menghentikan anak-anak yang menjahilinya.
Tentu saja, anak-anak itu tidak berhenti. Alih-alih berhenti, mereka malah semakin mengejek Callista, mengatainya cengeng karena menangis saat dijahili. Hal yang tentu saja membuat air mata kembali meluruh dari matanya.
"Hey, kalian! Pergi sana!"
Callista, yang tengah menangis di tengah-tengah anak-anak nakal itu, mengangkat kepalanya. Matanya menangkap sosok anak perempuan dengan rambut kuncir kuda yang tengah berkacak pinggang.
"Apasih, Sherina! Kita kan cuma bercanda aja! Iya gak, temen-temen?" Anak lelaki yang bertubuh paling besar bersuara. Anak itu menoleh ke yang lain, mencari dukungan. Seruan 'iya, bener!' pun terdengar.
"Gak usah bohong! Aku liat ya daritadi kalian jailin dia!" Anak perempuan yang Callista baru tau namanya itu berucap. Anak itu pun berjalan menghampiri Callista, tas kecil yang tersampir di bahunya bergerak pelan mengikuti langkah kaki si pemilik. "Pergi, sana! Atau kalian mau aku pukul, hah?!"
Mendengar ucapan Sherina, anak-anak itu pun sontak berlari pergi. Meninggalkan Callista dengan anak perempuan yang menolongnya itu.
Sherina menatap Callista lamat, lalu berjongkok di hadapan Callista. "Ada yang luka?"
Callista mengangguk pelan, lalu meluruskan kakinya, menunjukan lututnya yang dihiasi garis lurus berwarna merah. Sherina memperhatikan lutut Callista dengan teliti. Tangannya terangkat, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Lukanya banyak!" Cetus anak perempuan itu. "Handsaplast ku cukup gak, ya?"
Sherina mulai sibuk dengan isi tas kecil miliknya, sementara Callista, yang sudah tak lagi menangis, menatap bingung pada anak perempuan di depannya itu.
"Handsaplast ku tinggal dua!" Sherina menarik keluar dua buah handsaplast bermotif bunga dari tasnya. Ia lalu mendekatkan dua handsaplast itu ke arah lutut Callista, memastikan apakah handsaplastnya cukup untuk menutupi luka di lutut Callista. "Ih, gak cukup!"
Callista kembali memperhatikan Sherina yang kembali menggaruk kepalanya itu. Bibirnya mengerucut, sementara dahinya berkerut. Sebuah ekspresi yang mampu mengundang tawa kecil dari Callista.
"Kamu ketawa!" Sherina berseru senang. "Kamu gak sedih lagi!"
"Kamu lucu soalnya. Bibirnya kayak bebek, terus jidatnya kayak mamaku kalau lagi bingung." Balas Callista.
"Aku tuh lagi berfikir!" Sherina menjawab. "Rumah kamu dimana?"
Callista mengangkat tangannya, menunjuk salah satu rumah besar di ujung jalan. "Yang pagarnya warna hitam!"
Sherina mengikuti arah telunjuk Callista, lalu mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Anak perempuan itu kembali fokus ke tasnya, dan menarik keluar sebuah sapu tangan dari sana.
"Ayo, kamu aku gendong. Nanti, kamu tutupin luka kamu pakai sapu tangan aku."
Callista tak protes. Selain karena kakinya yang sakit, ia juga sudah lelah setelah dijahili terus menerus. Maka, dengan hati-hati, Callista naik ke punggung Sherina yang terlihat agak kesusahan menggendong Callista. Beruntung, tubuh Sherina sedikit lebih besar daripada Callista. Sherina pun menyerahkan sapu tangan miliknya ke Callista, yang langsung digunakan Callista untuk menutupi luka di lututnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Compilation
FanfictionJust a bunch of Miyawaki Sakura-centric (and some of Le Sserafim) Short Story.