Prolog

42 6 7
                                    

Ku ingin saat ini engkau ada di sini
tertawa bersamaku seperti dulu lagi
walau hanya sebentar tuhan tolong kabulkanlah
bukannya diri ini tak terima kenyataan
hati ini hanya rindu...

Lagu andmesh hanya rindu menggema dan mengalun di tengah pemakaman umum, suara tangisan keras pun ikut terdengar dari seorang gadis bertubuh mungil. siapa dia? Kenapa dia menangis?

Wajahnya tampak sedih dan mematung tepat dihari ulang tahunnya yang ke dua puluh. Tanggal 09 Juni adalah hari dimana dia selalu merayakan hari kelahirannya dengan orang yang paling dia sayangi.
tapi kenapa sekarang berbeda?

ah entahlah, dia tersenyum dan mulai beranjak pergi dari pemakaman tersebut setelah memeluk salah satu batu nisan bertuliskan "Almh. Aisyah" sembari mengucapkan "maaf dan terima kasih."

Siapa Aisyah?

Apakah itu kekasihnya?

Gadis itu berlari dibawah rerintikan gerimis, terangnya lampu kuning di sepanjang sudut jalan juga menemani perjalanannya kala itu.

tak lama dia tiba disalah satu tempat yang tinggi dan indah.

Ya.. tempat sederhana, tapi ini adalah tempat kesukaanya sekarang. sebut saja tempat itu bukit di belakang rumah, tempat dimana dulu sering ia kunjungi untuk sekedar bercanda atau membagikan keluh kesah dengan orang tercintanya.

Tapi sekarang?

Tempat itu sepi dan sunyi!
hanya segelas kopi dan kempulan asap rokok yang menemaninya sekarang.

wajahnya yang datar kembali meneteskan air matanya lagi ketika harus mengingat seseorang yang bernama Aisyah yang kini sudah tidak bisa menemani hari-harinya lagi.

Sebenarnya siapa gadis cengeng itu? Siapa juga Aisyah?

Gadis kecil itu bernama Farisa Ulya Adifa, gadis yang ditinggalkan seorang diri dalam kebingungan, hilang arah, patah semangat, putus asa dan ingin menyerah.

Dia tidak pernah merasakan kehilangan sedalam ini sebelumnya, sejak kematian Ibunya yang bernama Aisyah hidupnya terasa sangat berantakan, sangat hancur, sangat redup, bahkan mungkin bisa disebut mati. Ia benar-benar kehilangan pundak untuk bersandar dengan tenang dan nyaman sekarang.

Semua sajak yang ditulisnya seolah berkumpul, merangkul, dan menepuk pundaknya seraya mengatakan "semua akan baik-baik saja."

Tapi nyatanya tidak! Tidak ada yang baik-baik saja setelah kehilangan bukan?

Tempat yang sekarang Ia injak juga seolah berpesan "Kamu harus bisa berjuang, belum waktunya untuk menyusul ibumu sekarang,"

Satu-satunya cahayanya telah pergi. Bahkan hanya sekedar untuk membuka matapun dia merasa takut, semesta terasa begitu tega dan kejam.

"Kenapa aku harus kehilangan sayap saat sedang keras-kerasnya belajar terbang, Kenapa aku harus kehilangan kaki ketika sedang keras-kerasnya berlari, dimana tumpuanku!" gumam gadis itu.

Dia kembali menatap langit yang kini berubah menjadi senja. Sinar jingga yang keluar dari langit sore itu mengingatkan gadis itu akan warna kesukaan adiknya bernama Azkha yang kini sudah bersama ibunya di surga sana.

Dalam lamunan sedihnya, gadis itu seperti mendengar suara merdu yang sangat-sangat ia kenali sebelumnya.
"Kamu harus kuat nak, Ibumu disini sudah tenang dengan ayah dan adikmu".
Mungkin itu suara yang ibu titipkan lewat langit untuk disampaikan kepada putri cantiknya disini.

Sebenarnya apa yang membuat ibu gadis itu meninggal? apakah yang akan terjadi besok, lusa dan seterusnya? Apakah dia benar-benar harus berjuang sendiri untuk hidupnya?
dan seberapa berartikah Ibu dimata gadis itu?

.....

Para Ibu tidak benar-benar pergi,
Mereka hanya menjaga rumah di langit, mereka memoles matahari di siang hari dan menerangi bintang - bintang  yang bersinar di malam hari,
menjaga sinar bulan bersinar perak
dan di rumah surgawi diatas mereka
menunggu untuk menyambut orang-orang yang mereka cintai

~ Helen Steiner Rice

.....


Tunggu kisah selanjutnya ya..
Terima kasih telah membaca, jangan lupa kritik dan sarannya.
Terima kasih :)

Malaikat yang menyembunyikan sayapnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang