Aku tidak pernah menunggu hari di mana aku keluar dari sekolah yang tidak bisa melihatku. Sebaliknya, akan lebih baik kalau begitu. Aku tidak akan sedih berpisah dengan manusia. Hal seperti itu ... sudah terlambat.
Ah, tapi sepertinya Bunda memang menunggu-nunggu hari ini. Bunda bahkan mengajukan cuti yang tidak pernah ia lakukan.
"Alva mau ikut Bunda ke SMA Cita Utama untuk mengurus resign?"
Resign itu untuk orang yang kerja, Bun. Aku pura-pura batuk dan menjawab dengan lemas. "Sepertinya aku butuh istirahat."
Aku tidak mau melihat Bunda tahu keanehanku. Aku tidak mau naik mobil bersama Bunda. Aku tidak mau membahayakan Bunda.
Semoga batukku tidak terdengar canggung.
"Alva, jangan pura-pura sakit. Nanti kalau terwujud bagaimana?"
"Tentu saja jangan," jawabku sedikit kaku.
Aku juga tidak mau ke dokter dan membuat Bunda dikira gila!
Bunda tertawa. Mungkin tertawa karena memergoki kebohonganku dan aku menanggapi kata-katanya dengan serius.
Mendengarkan betapa riang tawanya membuatku bertanya-tanya pada diriku. Kenapa aku tidak tertawa juga? Apa pula yang harus ditertawakan?
Mungkin karena aku tahu, aku juga ikut ke sekolah itu. Diam-diam.
°°°
Banjir keringat dan napas sedikit tersengal sudah jadi kebiasaanku ketika baru tiba di gerbang sekolah. Biasanya kalau pagi jalanan di kota ini pun ramai, tapi siang ini lebih parah. Sampai-sampai aku lelah berpikir daripada lelah karena berjalan dari rumah ke sekolah. Jaraknya cuma 650 meter, sih.
"Yah, setidaknya tidak ada apa-apa selama perjalanan. Itu hal yang harus disyukuri setiap hari," ucapku pada diri sendiri, menepuk-nepuk pundak sebelah kiri.
Aku mengeluarkan handphone untuk melacak handphone Bunda. Semoga Bunda tidak melakukan hal yang sama, bisa gawat kalau nanti aku ketahuan. Dari sini, lurus sedikit, belok ke kiri. Kalau begitu, antara ruang BK atau ruang TU. Bagus, keduanya tertutup.
Aku berjalan cepat ke sana. Lagi pula tidak ada yang mau kulihat-lihat lagi. Lapangan luar yang luas, para murid laki-laki yang bermain basket, dan teman-teman mereka yang histeris entah dari mana, semua itu tidak menarik. Saat aku akan berbelok, aku berhenti beberapa detik.
Bunda duduk di kursi luar, dia sendirian. Hampir saja aku datang dan membuatnya berbicara padaku. Bisa-bisa terlihat berbicara dengan angin kasat mata.
Tiga anak perempuan datang dari ujung lorong di kiri Bunda dan aku. Mereka berbincang .... Ah. Mereka anggota kelasku.
"Permisi, anak-anak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Rain Before Rainbow
RomanceSebentar lagi kelas 12, tapi malah pindah sekolah? Apa Alva adalah anak bermasalah? Demi satu-satunya manusia yang bisa melihatnya, perempuan yang transparan di mata manusia, Alva setuju untuk pindah sekolah. Apa akan ada perbedaan dengan pindah s...