6. Pelanggaran (1)

15 4 15
                                    

Sekolah ini sangat modern, bahkan hampir mirip mall. Ada loker untuk siswa yang hanya bisa dibuka dengan memasukkan kartu siswa dan password yang kuterima di paket waktu itu. Jadi, loker mana saja bisa, tapi sekali aku menggunakannya, loker itu akan terkunci hingga aku membukanya dengan cara yang sama. Tandanya warna lampu kecil bundar berwarna merah, artinya tidak bisa dibuka.

Rasanya aku ingin memasukkan tas dan barang-barangku, semuanya. Tapi di kelas nanti juga pakai teknologi.

Aku mungkin bisa terlihat?

Tadinya kupikir begitu. Sekolah ini bagus, tapi pengalamanku buruk tentang presensi dengan dipanggil satu persatu.

Lihat? Tidak ada yang menyadariku.

Guru jam pertama di kelas XII MIPA 1 mungkin kebingungan karena di sistem aku masuk, tetapi dia tidak bisa menemukanku di kelas ini. Rupanya tidak ada yang berubah meski menggunakan aplikasi belajar khusus, presensi dengan login juga, tapi tetap kalau dicari seperti ini hasilnya sia-sia.

Aku memutuskan untuk keluar dari kelas dan menghabiskan waktu berjalan-jalan. Waktu itu staf menjelaskan kalau usai pembelajaran, akan dibagikan pranala rekaman suara. Materi juga ada di aplikasi belajar sekolah ini. Selain buku pelajaran pemerintah, sekolah ini meminimalkan penggunaan kertas.

Itulah saat username dan password harus digunakan. Loker, presensi, materi, pinjam buku pun bisa online meski tidak semuanya.

Apa tidak terlalu baik? Itu sama saja dengan mengatakan "mau atau tidak kalian disediakan ilmu. Jika mau, buka, jika tidak, tinggalkan."

Biasanya, aku akan merekam suara sendiri dan meninggalkan kelas, karena kupikir buang-buang waktu. Berkat kejadian kemarin, aku jadi tidak mau memberikan kesempatan pada bakat aneh ini.

Aku memilih duduk di atas pagar yang membatasi taman kecil. Tidak terlalu tinggi, kalau jatuh, palinh cuma keseleo, bukan sakit parah.

Dengan berani, aku duduk dengan kaki menyilang. Untuk tetap seimbang, kedua tanganku memegang pagar besi itu. Nyaman sekali.

Hanya ada pohon, tumbuhan hias daun, kupu-kupu putih yang kecil dan lincah, serta angin semilir.

"Dasar tidak berguna!"

Aku refleks menoleh ke arah sumber suara tak mengenakkan hati itu. Beberapa siswa berkumpul di lapangan. Kaos dan celana olahraga berwarna abu-abu, seragam olahraga khusus kelas XII.

Salah satunya menggunakan jaket cornflower blue. Pasti itu Alphaeus.

Aku memalingkan muka. Tapi hanya bertahan sebentar, karena suara teman laki-lakinya mengusik parah.

"Siapa emangnya dirimu itu? Sok banget jadi pahlawan! Bikin muak, dasar lembek!"

Aku mengetuk pagar berkali-kali dengan jari telunjuk kanan. Bukannya orang yang merendahkan seperti itu yang lembek dan sok? Akhirnya, aku memperhatikan mereka lagi.

Teriakan memaki tadi tidak berhenti-henti. Protes apa saja yang sepertinya dikatakan teman-temannya.

Dia berteriak supaya orang lain jangan mau menuruti "orang itu" entah siapa maksudnya. Dia memaki berulang-ulang betapa lembek "orang itu" dan merendahkannya terus menerus. Setelah itu aku mendengar kalau guru olahraga mereka tidak akan datang.

Aku turun dari pagar dan menuruni tangga, menghampiri mereka. Semakin keras teriakannya, semakin aku merasa ingin tahu, apa yang membuatnya protes sebegitunya?

Saat lebih dekat, aku berhenti di tengah jalan. Alphaeus berdiri di depan lelaki yang sudah memerah karena marah itu. Di belakangnya hanya ada kumpulan gadis yang sinis menatap laki-laki pemarah.

"Kalau mau main basket, 'kan, bisa main sendiri, ya. Terserah kita mau main voli," gerutu salah satunya.

"Ssh, jangan begitu! Shadelion tadi ngomong itu dan hampir dipukul pakai bola basket."

Pasti anak setan ya. Perkara main basket sampai mau melukai orang lain dengan mudahnya?

"Riel, tenanglah. Anak laki-laki boleh kok bermain basket. Aku bukan melarang. Tapi lapangannya bukan di sini, 'kan. Kita harus mengikuti kata-kata guru–"

"Halah ,berisik! Tinggal kasih kunci pintu ke kami, biar kami yang urus sendiri! Kenapa sih sok ngatur? Palingan cuma cari muka di depan cewek!"

Alphaeus ... kenapa bisa sesabar itu?

"Pak Wave berpesan agar kita bermain di sini. Dekat dengan kantor guru bisa lebih aman dan lebih luas. Beliau hanya terlambat."

"Alasan doang, sih, kita bisa! Dasar cowok lembek sok pahlawan!"

Apa coba kaitannya dengan lembek dan sok pahlawan?

Aku mendekati barisan cowok di belakang si Riel itu. Karena dia lantang mengatakan "kita," apakah yang dimaksud itu semua lelaki kecuali Alphaeus?

"Kalau Alphaeus sok pahlawan, Riel sih, penjahatnya," ucap seorang gadis dengan sangat lantang.

Sebelumaku bisa melihatnya, pandanganku terhalang oleh tangan Riel. Aku membelalak,jantungku seolah berhenti, diikuti dengan tanganku yang menangkap pergelangantangan lelaki kasar di depanku secepat kilat.


12 Juni 2023

661 kata 


Our Rain Before RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang