7. Pelanggaran (2)

11 3 8
                                    

"Apa ini? Tanganku kenapa!"

Ia bertanya padaku dengan berteriak. Tapi aku tidak tertarik melepaskannya. Dia hampir memukul seorang gadis di depannya sekuat tenaga. Aku hanya ... mau menahannya, kalau bisa, aku ingin menghentikannya paksa.

Kulirik Alphaeus yang sudah maju lebih dekat, menjadi benteng gadis berani tadi. Mungkin dia akan bisa menyelesaikan ini dengan baik dan sabar. Dengan dia maju, dia siap dipukul. Mungkin, sejak awal dia berada di depan gadis-gadis itu untuk melindungi mereka.

Melihatnya seperti itu membuat pikiranku lebih jernih. Sebenarnya, tidak masalah jika aku tidak ikut campur. Bukankah aku harus lebih khawatir jika bakat anehku tiba-tiba aktif pada orang lain? Orang jahat pun tetap manusia.

Akhirnya aku melepaskan genggamanku. Riel langsung meluncurkan tinjunya ke wajah Alphaeus. Akan tetapi, sesuai dugaanku, laki-laki berjaket cornflower biru itu memilih untuk membalas air tuba dengan air susu.

"Ini pasti gara-gara kamu, Al!"

"Aku kan di depanmu, Riel. Sudahlah, jangan seperti ini terus."

"Berisik banget, sih, cowok pendek ini! Dipukul saja cuma terima, dasar lemah! Lembek seperti cewek!"

Alphaeus menatap Riel lebih intens daripada sebelumnya. "Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Kamu bukannya lupa, 'kan? Kalau kita pukul-memukul di sini, kita akan terkena peringatan."

"Ya sudah minggir! Aku belum puas karena belum menghajar Shadelion!"

Aku mengepalkan tanganku. Percayalah pada Alphaeus. Jangan gegabah! Jangan ikut campur! Ini bukan di rumah, lebih banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika aku ikut campur.

Namun, alih-alih tenang, aku merasa tersiksa. Kenapa?

"Aku tidak bisa pura-pura tidak tahu kalau ada yang kesusahan di depanku."

Kata-katanya yang tenang tapi juga tegas seolah menusuk hatiku. Aku malu untuk mengangkat kepalaku. Dengan berpikir orang lain akan baik-baik saja tanpa diriku, aku membiarkan Alphaeus dipukul.

Padahal, jika menahannya, tidak akan ada yang terluka. Aku juga tidak melakukan apa-apa, hanya menonton dari belakang.

Aku menekan bibirku. Mungkin aku juga sama saja Riel, mudah memutuskan untuk menyakiti orang lain.

"Kurang ajar."

Aku terbangun dari lamunanku karena suara Riel yang lebih menakutkan daripada tadi.

"Aku akan membuat cowok banci sepertimu menghilang sendiri."

Ia melayangkan tangannya. Para gadis berteriak histeris, sementara Alphaeus semakin menutupi keberadaan gadis yang tadi mengkritik Riel. Aku tidak dengar apa pun dari pihak belakang Riel. Apa mereka takut?

Lebih baik kalian takut sekarang. Karena Riel akan kesulitan bernapas.

"Kelemahan seseorang mudah ditemukan. Apa hebatnya menemukan batu kerikil di atas pasir putih?" Aku berbisik sendirian di belakang Riel yang kutarik kerah bajunya ke belakang.

Dia seperti ikan di udara. Tidak kupedulikan, aku masih terus berbisik. "Jika hanya bisa memperhatikan itu kamu, kalian, tidak akan bisa melihat bakat."

Aku marah bukan hanya pada Riel, tapi juga para laki-laki di belakangnya. Entah berhak atau tidak perasaan untuk menyalahkan orang lain yang sedang meluap-luap ini.

"Padahal aku bisa melihatnya." Melihat dengan jelas bahwa Riel itu salah dari awal. Fakta bahwa Alphaeus berusaha menghentikan baik-baik meski dipukul sendirian, membuktikan semua perkataan Riel itu omong kosong belaka.

Aku berhenti berbicara, menendang tulang betis kedua kaki Riel lalu melepaskan genggamanku. Aku menatapnya yang meraung terbatuk dan mengaduh kesakitan tanpa simpati.

Dia beruntung. Semarah apa pun aku, bakat anehku tidak aktif. Mungkin aku baru akan merasa bersalah setelah aku lulus jika aku tidak sengaja membuat keberadaannya menipis saat ini.

"Sepertinya dia akan berada di UKS hingga akhir jam pelajaran," ucapku, tersenyum, tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Semuanya kebingungan dan histeris. Aku menjauh, agar tidak ditabrak orang-orang itu. Tidak sengaja, aku malah mendekat ke Alphaeus. Tiba-tiba teringat bahwa semalam aku mengatakan aku tidak ingin akrab. Hari ini, aku terpengaruhi oleh kata-katanya.

Setidaknya dia tidak tahu.

"Hei?"

Aku menengok. Dia berbicara dengan siapa? Aku berhenti, tapi bukan karena penasaran. Melainkan bola mata kami yang tak sengaja terkunci oleh tatapan satu sama lain.

"Terima kasih, ya," bisiknya, berbicara padaku.

Tunggu. Berbicara ... padaku?


12 Juni 2023

585 kata

Our Rain Before RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang