2 - Bara Pulang

51 5 0
                                    

"Buih!"


Prang!

Dhisya terperanjat saat mendengar suara ribut dari arah dapur. Perempuan yang sedang memberi pakan ikan di akuarium itu lantas segera menuju sumber suara.

"Kamu bisa nyuci gelas nggak, sih?! Nyuci gelas aja nggak becus, masih bau sabun!" omel Widuri dengan nada tinggi. Perempuan berusia kepala lima itu melotot tajam ke arah Dhisya.

"Ma-maaf, Ma," sesal Dhisya. Ia tak menyangka dirinya sangat ceroboh, mencuci gelas saja tidak becus.

"Beresin gelas pecah ini!" perintah Widuri seraya menunjuk gelas pecah yang berserakan di lantai.

Dhisya mengangguk patuh, perempuan dua puluh lima tahun itu lantas segera memunguti pecahan gelas yang masih besar, sedangkan yang halus akan ia ambil menggunakan kertas.

"Aw!" Dhisya meringis kesakitan saat sebuah beling menancap di jarinya.

"Manja! Buruan beresin!" hardik Widuri yang berdiri di dekat lemari pendingin sambil berkacak pinggang.

Dhisya mengangguk patuh. Ia lalu menarik beling yang menancap di jarinya tadi, setelah itu, ia kembali membersihkan pecahan gelas yang tersisa. Walaupun lukanya tadi cukup dalam dan lebar, tapi ia mencoba untuk menahan sakit. Nantilah, setelah selesai membersihkan sisa beling, baru ia akan mengobati lukanya.

Widuri tersenyum sinis melihat Dhisya yang kesakitan. Setelah puas menyiksa Dhisya, ibu tiga anak itu lantas berlalu menuju kamarnya.

Sepeninggal ibu mertuanya, Dhisya mengembuskan nafas lega. Untunglah ibu mertuanya itu segera berlalu.

Saat ini baru pukul setengah sembilan malam, biasanya kalau jam segini Widuri belum pulang ke rumah, ia masih berada di luar bersama ibu-ibu sosialita Surabaya yang lainnya. Tapi entah mengapa malam ini Widuri pulang lebih awal. Ibu mertua Dhisya itu sudah ada di rumah sejak jam enam sore.

"Sebentar lagi Melodi pulang, aku harus cepat-cepat beresin ini," gumam Dhisya.

Sebentar lagi ia harus ke masjid untuk menjemput Melodi. Jarak dari masjid ke rumah memang tidak terlalu jauh, hanya lima ratus meter saja, akan tetapi Dhisya tidak tenang jika membiarkan anak semata wayangnya itu pulang sendirian.

Setelah selesai membereskan pecahan gelas, Dhisya segera membersihkan lukanya menggunakan cairan pembersih luka, kemudian ia membalutnya dengan pembalut luka. Setelah itu, ia lantas bergegas keluar rumah menuju masjid.

"Eh, eh ... mau ke mana kamu?" cegah Widuri yang tiba-tiba saja muncul.

Entahlah, ibu mertua Dhisya ini sudah mirip jailangkung saja, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Sering sekali muncul secara tiba-tiba dan mengagetkan Dhisya.

"Mau ke masjid, Ma. Jemput Melodi, sebentar lagi dia pulang," jawab Dhisya seraya membetulkan hijabnya yang melorot ke depan.

Widuri tersenyum sinis. "Bilang aja kamu mau PDKT sama Ustadz Ghazali," ejeknya dengan sinis.

"Astaghfirullah, Mama ngomong apa, sih?" Walaupun kesal dengan tuduhan ibu mertuanya yang tak beralasan, akan tetapi Dhisya tetap berbicara sopan.

"Kamu kira saya nggak tau? Setiap ke masjid, pasti kalian selalu ketemuan. Ustadz Ghazali belum mau pulang sebelum kamu datang," sinisnya.

Dhisya menggeleng pelan, ia kehabisan kata-kata. Entahlah, mengapa seluruh anggota keluarga Bara membencinya?

Beruntung dua saudara Bara tidak tinggal di sini juga, sehingga Dhisya hanya perlu menghadapi satu pembencinya, yaitu sang ibu mertua. Kalau seluruh anggota keluarga Bara tinggal di rumah ini, Dhisya tidak tahu akan jadi apa dia nantinya.

Merindu Tanpa Tahu Malu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang