1. Coward

1.5K 69 2
                                    

"Aku menyukaimu, Kageyama."

Kata-kata itu membuat Kageyama Tobio yang sebelumnya merengut kesal karena tiba-tiba ditarik oleh 'musuh yang dibencinya' itu mulai membulatkan kedua bola matanya perlahan. Dia kembali menatap baik-baik pria yang berdiri tegap di depannya. Mencoba mencari ekspresi meremehkan yang selalu terpasang di wajahnya atau paling tidak senyum tipisnya yang selalu terlihat menahan tawa yang menyebalkan.

Namun, nihil.

Tsukishima Kei berdiri tegap di tempatnya. Menatapnya serius dari mata ke mata—hal yang tak pernah benar-benar bisa mereka berdua lakukan meskipun sudah tiga tahun berada di dalam satu tim voli yang sama.

Tapi, meski begitu, Kageyama tidak ingin langsung mempercayai kata-kata yang... rasanya sangat tidak mungkin itu. Bahkan meskipun Tsukishima menyebut namanya dengan benar—hal yang sangat jarang sekali dilakukan oleh laki-laki yang senang membuatnya kesal itu.

Menarik ujung-ujung bibirnya dengan paksa, setter utama di tim Karasuno itu mencoba tertawa.

"Ha... Haha, tidak lucu, kacamata sialan..." tidak ada reaksi. Pemuda berambut pirang dengan kacamata yang membias karena cahaya itu tetap memasang ekspresi seriusnya. Kageyama menelan ludahnya, "...oi, kau bercanda... 'kan?" tanyanya. Keraguan mulai muncul di setiap nadanya.

Tsukishima membuka mulutnya, kemudian terdengar suara bahwa dia baru saja menghela napas. Kageyama sedikit menegang dan mencoba diam di tempatnya. Tsukishima  menaikkan frame kacamatanya dengan jari tengah dan telunjuknya yang masih diperban setelah pertandingan terakhir mereka beberapa waktu lalu.

"Aku ingin mengatakan itu, tapi sayangnya tidak bisa," menurunkan tangannya kembali, Tsukishima menatap ekspresi syok lelaki berambut hitam di depannya, "hari ini adalah latihan terakhir kita sebagai satu tim. Besok kita akan menerima ijazah lalu keluar dari SMA Karasuno. Setelah itu, kita semua akan memilih jalan yang berbeda satu sama lain. Sampai sini, kau mengerti, 'kan?"

Kageyama menelan ludahnya.

"Mungkin saja setelah ini kita tidak akan memiliki kesempatan berbicara seperti sekarang lagi."

Merasakan ketegangan yang masih belum kunjung reda di antara mereka, akhirnya Tsukishima mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu. Di balik wajahnya yang tenang dan penuh dedikasi seperti biasa, sebenarnya banyak sekali perasaan yang bercampur aduk dan membuatnya harus menahan diri agar tidak berteriak tepat di depan Kageyama.

Dia tahu bagaimana Kageyama bisa begitu jelas menunjukkan isi hatinya dan bagaimana dia bisa cepat panik pada situasi di luar pertandingan voli, karena itu di hubungan ini dialah yang akan menjadi pilar untuk menutupi itu.

Setelah menenangkan dirinya, Tsukishima mulai mengambil langkah pertama untuk mendekati Kageyama yang masih tenggelam di dalam pikirannya. Mendengar langkah itu, tubuh Kageyama kembali menegang dan dia mengangkat kepalanya. Melihat Tsukishima yang masih memasang wajah datarnya terus menatapnya sembari berjalan mendekat.

"O... Oi," Kageyama mencoba memasang wajah galaknya untuk bertahan seperti biasa namun gagal. Warna merah di kedua pipinya menghancurkan segalanya. Terlebih ketika pemuda yang disebut 'King of The Court' itu justru reflek memundurkan langkahnya hingga tembok menghalangi jalannya.

Kageyama menoleh panik pada tembok di belakangnya sebelum dia kembali melihat ke depan dimana Tsukishima telah sangat dekat di depannya. Seharusnya Kageyama bisa saja memukul Tsukishima lalu lari begitu saja, tapi entah kemana kekuatan dan keberaniannya itu. Seolah dia menanti sesuatu... dari middle blocker bernomor punggung sebelas tersebut.

Kumpulan Cerita TsukiKageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang