Bab 13 : Camilla

68 10 0
                                    

Sudah hampir tengah malan, saat Barra menghentikan mobilnya di depan sebuah pintu pagar besi dengan sebuah tulisan besar Camilla Homestay, Batu Malang. "Bener ini?" Tanyanya pada Dominik yang masih memperhatikan peta di ponselnya.

"Ya. Titiknya bener kok, di sini," sahutnya. "Tapi kok, gak ada yang jaga?" Ucapnya lagi seraya turun dari dalam mobil lalu menghampiri sebuah pos kecil yang berada di sudut pintu. Terlihat seorang pria berjaket hitam yang terkejut bangun. Setelah Dominik berbicara sejenak, ia pun bergegas membuka pintu pagar besi itu dan mempersilakan mobil untuk parkir di halaman.

"Yuk! Dia ternyata emang nungguin kita dari tadi. Rumahnya udah diberesin katanya, tinggal masuk."

Dan Barra pun memarkirkan mobil di halaman rumput yang luas, di depan sebuah rumah kecil bernomor 12. Dipandanginya wajah Alma yang masih terlelap.

"Udah sampai?" Tanya Alma membuka mata saat dirasakannya mobil tak lagi bergerak.

"Baru mau aku gendong ke kamar," goda Barra. Membuat Dominik terbatuk mendengarnya.

Alma tersenyum. Dipandanginya deretan rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu itu. Seperti pondok-pondok di tengah sebuah taman besar.

"Kamu suka?" Tanya Barra seraya mematikan mesin mobil lalu membuka pintunya. Seketika udara dingin menyeruak masuk.

Alma mengangguk.

Barra kembali tersenyum. Ia sudah tahu Alma akan suka. Karena Alma selalu menyukai kemana pun tujuan yang ia pilih. Ia tidak pernah protes.

"Wow! Keren, Bro!" Seru Dominik begitu membuka pintu rumah. "Akhirnya dia kasih kita yang dua kamar."

"Ini punya teman kalian?" Tanya Alma. Diamatinya seluruh ruangan bernuansa coklat itu. Ada dua kamar yang terpisah dengan sebuah kamar mandi yang nyaman. Dan satu set sofa dengan televisi di atas bufet kayu.

Dominik memandang Barra sesaat. "Hm, ya. Teman aku sih, sebenarnya. Barra cuma pernah aku kenalin sekali waktu kita ke Malang dulu. Namanya sama kayak nama penginapannya, Camilla," sahutnya.  Diliriknya Barra kembali. Ia takut jawabannya salah.

Barra mengangguk dengan senyum. "Kamu mau di kamar ini?" Tanyanya. Diletakannya tas besar Alma di atas tempat tidur yang ternyata berukuran kecil.

Alma kembali mengangguk. "Kamu di mana?" Tanyanya khawatir saat menyadari kedua kamar itu ternyata memiliki tempat tidur dengan ukuran kecil.

"Barra di kamar satunya. Aku sih gampang bisa di sofa. Aku kan, gak lama di sini," sahut Dominik. Kini ia menghempaskan tubuh besarnya di atas sofa empuk berwarna krem itu.

"Aku... sewa rumah sendiri aja, Bar. Biar kalian aja yang di sini." Alma memandang Barra.

Barra menggeleng. "Penuh, Ma. Malahan tadinya cuma ada yang satu kamar. Ya, kan Dom?" Barra melirik Dominik.

"Ya, penuh. Gak pa-pa aku di sofa. Aku kan, cuma sebentar di sini. Gak boleh lama-lama ikut sama Barra," sahut Dominik setengah merajuk.

Alma tertawa. "Memangnya kita di sini berapa lama, Bar?"

Barra menggeleng. "Enggak tahu. Papamu kan, besok datang dari luar negeri. Kita tunggu aja perkembangannya."

"Aku enggak berani kalau ngomong langsung sama Papa. Aku takut enggak bisa nolak lagi perintahnya."

"Kalau gitu kita tunggu kabar dari Mamamu. Sekarang kamu istirahat dulu, ya? Tidur dulu. Besok kita pikirin lagi. Ok?" Barra mengusap-usap rambut Alma.

Tak berapa lama Alma pun masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu.

"Gak nyangka gue ngeliat lu bisa jatuh cinta beneran sama cewek." Dominik memandang Barra seraya mengeleng-gelengkan kepalanya.

Menculik Anak JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang