Young, Dumb, Stupid- 21

1.4K 172 1
                                    

Jihan tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika dihadapkan dengan situasi ini. Gadis itu sama sekali tidak menyangka Duta akan membicarakan hal tak terduga sama sekali.

"Duta—"

"Udah lama banget kayaknya." Pemuda itu memilih bersandar pada sofa, menatap langit unit Jihan. Entahlah, sepertinya tengah menerawang jauh.

"Kayaknya ini waktunya gue terbuka sama Lo ya?" Duta tersenyum menatap Jihan.

"Jihan, gue adalah anak tunggal. Itu yang orang-orang tahu, tapi pada kenyataannya, gue pernah punya saudara. Tapi dia pergi, pergi dalam artian sebenarnya. Kayak yang Lo bilang tadi, dia terlalu baik, sehingga berdampak buruk untuk hidupnya sendiri.

Namanya Dita, dia Kakak yang paling gue sayang di muka bumi ini, karena dari dia gue belajar banyak tentang nilai-nilai kemanusiaan yang mulai dilupakan orang-orang. Kakak orang yang baik, baik banget. Dia orang paling baik yang pernah gue temui, karena kebaikannya sendiri yang mengantarkan dia pada akhir hidupnya.

Kejadian ini udah lama banget kalau harus diingat, waktu itu gue baru aja memulai dunia remaja sebagai anak kelas tujuh. Kakak waktu itu kelas sebelas, kebetulan di sekolahnya lagi ada pameran seni. Jadi Kakak ngajakin gue untuk ikut, Kakak janji sama Mama kalau kita bakal pulang gak lebih dari jam sepuluh."

Duta terkekeh, Jihan mengerti itu adalah kesedihan pemuda itu hingga ia mengusap bahunya menenangkan.

Duta mengangguk. "Memang benar, Kakak nepatin janjinya sama Mama buat pulang kurang dari jam sepuluh. Kita memang pulang, tapi malam itu, hanya gue satu-satunya yang pulang dengan keadaan baik. Kakak, dia pulang dengan keadaan nyawa yang telah direnggut darinya."

Jihan dapat merasakan bahu pemuda itu bergetar. "Duta, Lo gak—"

"Kakak, malam itu, Kakak pergi tepat di depan mata gue sendiri. Dan Lo tahu apa yang buat gue bahkan gak mikirin apa-apa lagi nyelamatin Lo waktu itu?" Duta menatap lekat manik Jihan.

"Karena kejadiannya sama Jihan, kejadiannya persis sama. Kakak, dia nyelamatin anak kecil yang lagi ngejar kucing tanpa pengawasan orang tuanya. Kakak bilang, Duta, tunggu di sini ya, Kakak bakal balik." Duta menghirup udara sangat dalam.

"Malam itu untuk pertama kalinya Kakak bohong sama gue, karena pada kenyataannya, Kakak gak pernah balik. Ketiganya meregang nyawa di sana, dan orang-orang sampah itu, bukan nolongin Kakak, mereka malah ngarahin kamera mereka nyorot tubuh Kakak."

Satu tetes air mata Duta jatuh, dan di situ tangis pemuda itu pecah. Jihan segera membawanya ke pelukan, gadis itu tidak bisa membayangkan trauma yang dilalui Duta pada saat itu, menyaksikan kakaknya sendiri meregang nyawa di depan matanya.

"Kenapa mereka lakuin itu? Kenapa mereka memperlakukan Kakak gue kayak benda yang gak ada harganya? Kakak gue juga manusia, Kakak gue ... Kakak gue juga pernah hidup, Jihan!"

Jihan memeluk erat pemuda rapuh itu, dikala tangisannya semakin terdengar keras.

"Duta, Lo gak harus ceritain ini ke gue. Lo gak harus gali luka lama, mereka cuma bisa buat Lo sakit."

Jihan dapat merasakan kepala itu menggeleng di pelukannya. "Tapi luka itu kenangan gue, Jihan."

Jihan mengangguk. "Lo boleh ingat, tapi untuk rasanya, Lo harus lupain semua rasa sakitnya. Kakak Lo orang yang paling berharga di hidup Lo kan? Maka dari itu, jangan ingat kenangan disaat terburuknya. Kalau Lo pendam, itu akan menumpuk di satu titik dan akan berimbas pada mental Lo sendiri."

Duta melepaskan pelukannya dari Jihan setelah merasa lebih baik dari kalimat gadis itu, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya, Duta akhirnya menghapus air matanya.

"Maaf, baju Lo basah."

Jihan menggeleng. "It's ok, merasa lebih baik?"

Duta mengangguk. "Hmm, makasih karena sekali lagi, ucapan Lo benar-benar bisa nenangin hati gue. Itu udah lama banget, harusnya gue bisa kendaliin diri sendiri."

"Lo gak harus memaksakan diri, semua orang gak bisa ngukur kesedihan orang lain. Hanya saja, memang ada kalanya untuk lebih kuat. Dunia bukan hanya tentang masa lalu kan?"

Duta tersenyum. "Tadinya gue cuma mau terbuka sama Lo tentang gue, tapi jadinya malah nangis gajelas kayak gini."

"Gue udah cerita tentang gue sama Lo, sekarang giliran Lo. Cerita tentang saudara-saudara Lo sama gue." Duta sekarang lebih santai, memilih bersandar pada sofa.

"Harus ya?"

"Gak adil kalau cuma gue doang yang cerita, sampai nangis gini juga," jawab Duta.

Jihan hanya mengangguk saja. "Gue tiga bersaudara, anak tengah dan satu-satunya anak perempuan di keluarga. Abang gue, dia udah nikah. Adek gue, dia masih SMP."

Duta mengernyit mendengar pernyataan Jihan. "Lo satu-satunya anak perempuan di keluarga?" Yang diangguki gadis itu.

"Kok Lo gak ada vibes anak manja ya?"

"Ya emang manja-nya gue harus gue tunjukin juga ke lo? Abang gue, udah nikah, bininya galak, gak berani manja-manja gue. Adek gue, idih ogah banget manja sama jamet epep modelan kayak dia." Jihan memutar bola matanya jengah.

Duta tertawa karena ekspresi gadis itu yang menggebu-gebu. Pemuda itu berdehem singkat. "Lo bisa kok manja-manja sama gue."

"Lo gue timpuk ya!"

Tawa Duta tambah menggelegar. "Canda elah."

Setelah obrolan panjang itu, keduanya sama-sama terdiam, Duta lebih dulu menatap Jihan sebelum diikuti oleh gadis itu.

Jihan mendengus melihat Duta dengan senyum menjengkelkan itu. "Jelek Lo."

Duta kembali tertawa, kali ini ia berdiri dan berjalan ke balkon Jihan. Biar saja jika gadis itu mengutuk di dalam hatinya tentang—

"Lo kenapa gak balik-balik sih Duta?" Nah kan?

Duta tidak menghiraukan Jihan, ia malah membuka pintu balkon yang membuat udara dingin langsung meraja lela di ruangan itu.

"Nih orang benar-benar ya." Jihan menghampiri Duta.

"Dingin Duta! Lo gak liat hujan lebat gini dan Lo malah buka balkon. Lo sakit gue yang repot!" kesalnya.

Duta terkekeh, ia berbalik ke arah Jihan. "Gapapa, gue senang kok ngerepotin lo."

Jihan menghela napas lelahnya akan kalimat Duta barusan, berusaha untuk tersenyum meski hatinya telah mengutuk Duta dengan sumpah serapah.

"Nih anak ada gilanya ya."

Young, Dumb, StupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang