PMJ-02

285 31 5
                                    


Tak dapat Lintang percayai bahwa semua terjadi pada dirinya. Bahkan,  di balik sikap diam dan nerimonya Emak dan Bapak ternyata tersimpaan perasaan itu. Mereka menganggap bahwa putri sulungnya telah berbuat hal memalukan.

Sepulang keluarga Angga kemarin, Lintang yang berusaha menjelaskan bahwa semua kejadian ini berawal dari kesalahpahaman saja, malah harus dikejutkan dengan pernyataan Emak tentang perasaan mereka.

"Kamu sudah jadi omongan gara-gara sikapmu di sekolah. Malah, sampai diberhentikan. Masak sekarang mau bikin ulah lagi dan jadi omongan? Emak dan Bapakmu ini, kan, yo diem dan ndak nyalahin kamu? Kalau dibilang malu, ya, malu, Nduk. Anak muda malah negur orang tua kayak gitu." Kalimat Emak itu masih terngiang jelas di telinga Lintang.

Satu helaan napas dalam sebelum Lintang melangkah keluar kamar. Ia membenahi hijab hitam lebarnya dan memastikan gamis toyobo cokelat tanahnya rapi. Pun tak lupa memakai kaos kaki sebelum sandal jepit.

Kali ini ia membutuhkan Sekar. Kawan baiknya itu biasanya selalu punya solusi dan bisa memberi ketenangan hati. Meskipun ... sampai detik ini, Sekar sangat sulit diajak untuk hijrah. Ah, sayang sekali.

Untunglah, Emak dan Bapak tak melarang Lintang keluar rumah. Mereka memperbolehkan putri sulungnya itu mengunjungi sang sahabat. Butuh waktu tak sampai lima menit hingga Lintang akhirnya sampai ke rumah Sekar. Tapi, ternyata Sekar tengah berada di tambak. Mau tak mau, ia menyusul sahabat baiknya itu ke sana.

Teriknya mentari pagi menjelang siang, tak menghalangi Lintang mengayuh sepeda keranjangnya. Menyusuri jalanan persawahan berlapis aspal yang telah rusak di sana-sini. Menuju daerah tambak tempat di mana Sekar kini berada.

Salah satu hal yang sangat Lintang syukuri selama hidup di desa ini. Udara hangat yang sangat nyaman dan pas untuk anggrek-anggrek—yang dia panggil dengan sebutan Anggy—dan kaktus-kaktusnya—yang dipanggilnya Catty. Ada persawahan, ada pertambakan, dan tak jauh dari desa mereka, terdapat desa nelayan dengan pantainya.

Angin lembut menyapa wajah Lintang. Embusan udara berasal dari daerah pertambakan beberapa ratus meter ke depan.

Ia masih mengayuh sepedanya menyusuri jalanan persawahan, sebelum kemudian melintasi jembatan kecil di atas kali payau menuju Perkampungan Tambak.

Hamparan sawah itu kini sudah tak ada lagi. Hanya ada petak-petak tambak menyelingi pemukiman penduduk.

Setelah keluar dari perkampungan tadi, Lintang turun dari sepeda, di depan jalan setapak pematang tambak. Ia lalu menuntunnya dan berhenti di sebelah dangau kayu beratapkan genteng tanah liat yang sudah menghitam. Kemudian, memarkirkan sepeda di bawah pohon mangga, di dekat gubug kayu itu.

Pintu triplek gubug yang tertutup, membuat Lintang menggeleng dan tersenyum miris. Pasti Sekar tengah tidur di dalam. Padahal, keberadaannya di sini sebenarnya untuk menjaga tambak dan memberi makan bandeng-bandeng bapaknya.

Butuh berkali-kali ketukan keras disertai panggilan nama Sekar, barulah pintu rumah kayu itu terbuka. Gadis berkulit kecokelatan itu memicingkan mata seraya memakai kacamata oval berbingkai keemasannya. Pun membenahi hijab kaos kremnya yang memang tampak miring dan berantakan.

"Oh, kamu, Lin." Sekar menguap. Benar, kan, dia pasti tidur.

Lintang berdecak. "Kamu ini, kalau ke sini pasti tidur. Tuh, ada orang mancing." Lintang menyentakkan dagu ke arah tambak.

"Oh, itu Lek Pri. Mancing mujaer. Nggak apa-apa," Sekar kembali menguap, "masuk, Lin."

Keadaan di dalam dangau kecil seukuran ranjang king size itu tampak temaram. Jendela kecil di salah satu dindingnya, tertutup rapat.

(END/Versi Revisi) Peace! Mas JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang