Bab 1

433 85 2
                                    

BAB 1

“Pakeeet!”

Suara kurir paket terdengar dari arah luar, aku yang sedang membantu ibu di dapur langsung bergegas menghampiri arah suara.

Pintu rumah yang terbuka dan seorang laki-laki yang berdiri di teras menyapaku dengan senyum.

“Neng paket nih, dari Mbak Tiara.” Mas kurir memberikanku paket dengan kerdus besar dan kuletakkan di lantai.

“Makasih ya, Mas.”

“Ok.”

Setelah aku dan paket tersebut di foto oleh mas kurir, laki-laki itu pun segera pergi.

“Paket apa, Nduk? Kamu sudah beli baju lebaran?” tanya Ibu yang tiba-tiba datang dari arah belakang.

“Bukan, Bu. Ini loh, Mbak Tia ngirimin paket, kok gede banget ya. Kira-kira kita dikirimi apa ya?”

“Yaudah, dibawa ke dalam saja.”

Aku mendorong kerdus besar itu sampai ke ruang tamu. Mengambil gunting dan membuka perlahan lakban yang membungkus kerdus tersebut.

Kedua mataku berbinar kala melihat isi di dalamnya adalah sembako, kebutuhan dapur seperti minyak, beras, gula, kecap, juga mie instan.

“Alhamdulillah,” ucap Ibu.

Tak lama kemudian ponselku berdering, kuambil benda berwarna hitam yang bagian pinggirnya sudah retak itu dari atas meja.

Panggilan dari Mbak Tiara, kakak perempuanku.

“Ya Assalamualaikum, Mbak. Eum, paketnya baru datang, makasih loh, Mbak. Kebetulan memang kebutuhan dapur banyak yang habis.”

“Eh Tyas, itu paketnya jangan kamu buka dulu harusnya. Kan aku belum bilang kalau paket itu buat kalian. Itu salah kirim, paket yang harusnya untuk kalian masih ada di kantorku. Bungkus lagi ya.”

“Loh, Mbak. Memangnya isinya beda ya?” tanyaku bingung.

“Ya beda lah, namanya kan itu parcel lebaran mau aku kirim ke rumah adiknya Mas Anjas. Eh malah sama asisten aku dikirim ke rumah.”

“Yah, Mbak. Tapi gimana, sudah dibuka, apa nggak sebaiknya Mbak kirim lagi saja dengan isian yang sama. Kasihan Ibu, Mbak. Aku nggak tega kalau lihat Ibu jadi sedih karena kami memang sedang butuh barang itu.”

“Ya itu urusan kamu lah, makanya kamu tuh kerja yang bener. Jangan bisanya numpang doang sama orang tua, udah dibiayain sekolah masih aja nyusahin. Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu bungkus lagi, nanti kamu kirim ya ke alamat yang aku kirim ke kamu. Bye.”

Astaghfirullah, aku hanya mengelus dada mendengar telepon dari Mbak Tiara. Sementara Ibu menatapku dengan kening berkerut.

“Kenapa, Nduk? Kok marah-marah? Mbakmu ngomong apa?”

“Anu, Bu. Eum, itu paketnya salah,” jawabku pada akhirnya.

“Oh, yaudah, Ibu ambil lagi minyaknya dari dapur ya. Kamu bungkus lagi saja, Ibu nggak apa-apa kok. Namanya bukan hak kita, jadi ya kita harus berikan pada pemiliknya,” ucap Ibu dengan senyum yang tampak terpaksa.

Maafin aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu.

Kenapa sih, Mbak Tiara itu selalu saja membedakan aku dengan adiknya Mas Anjas. Padahal keluarga suaminya itu terkenal kaya raya, bahkan bisa dibilang dari keluarga Sultan. Namun, kami sebagai keluarganya tak pernah dianggap oleh Mbak Tiara kalau sedang berkumpul.

Parcel Kadaluarsa Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang