Bab 4

164 45 4
                                    

BAB 4

"Mas pulang dulu ya, sampaikan salam pada Ibu," ujar Mas Anjas tampak terburu-buru.

Aku hanya mengangguk dan membiarkan laki-laki itu melangkah menuju parkiran mobilnya. Siapa yang dia jenguk sampai larut malam ya? Apa teman kerjanya, atau keluarganya?

Entahlah, aku juga tidak ingin tahu terlalu dalam, karena bukan urusanku juga.

Aku kembali melangkah keluar dari rumah sakit. Sebenarnya bisa saja aku beli kopi di kantinnya, tapi aku merasa lebih enak jajan di luar dari pada makanan di rumah sakit.

Aku masuk ke dalam salah satu warung kopi, di mana tak hanya menyediakan kopi, teh, susu, juga ada beberapa gorengan, dan bubur kacang hijau.

"Mas, mau susu jahe ya satu diminum di sini," kataku memesan pada mas penjualnya.

"Iya, Mbak."

"Saya juga satu," ucap seorang pria di belakangku dan seketika aku menoleh.

Aku menunduk mencari tempat duduk, dan pria itu ikutan duduk di sebelahku.

"Eum, maaf, Pak Dokter belum pulang?" tanyaku basa-basi.

"Saya shift malam, besok pagi pulangnya."

"Oh."

Aku jadi canggung sendiri, karena duduk berdampingan dengan seorang dokter ganteng yang kelihatan masih muda juga. Terlebih tadi suster bilang kalau dokter Renaldi masih jomblo.

"Istirahat ya, Dok?"

"Iya nih, ngantuk banget. Mau beli kopi tapi saya nggak bisa minum kopi. Seharusnya saya kan shift malam, tapi dari siang saya udah jaga. Gantiin dokter Rahman yang nggak masuk, jadi double shift."

Tanpa diminta sang dokter bercerita seperti dengan teman sendiri. Aku hanya mengangguk, dan tak lama minuman kami pun tersaji.

Kulihat Pak Dokter mengambil gorengan tahu isi dan cabe rawit, dia makan dengan lahap.

"Pake nasi, Dok," candaku.

"Kamu bisa saja, kamu yang tadi ibunya keracunan ya?" ucapnya sambil mengambil tisu lalu menyesap susu jahenya perlahan.

"Iya, Dok."

"Emang ibunya makan apa?"

"Eum itu, Dok. Sarden udah kadaluarsa, saya udah bilang jangan dimasak, Bu. Saya tinggal teraweh, eh dimasak sama Ibu saya. Karena saya belum sempat buang itu ke tempat sampah."

"Oh, kalau beli makanan kaleng memang harus dilihat masa kadaluarsanya. Bahaya kalau sampai kejadian seperti tadi, karena dari proses pembuatannya saja kan pastinya mungkin ada bahan pengawet. Dimasak dengan api, dan zat tersebut menguap, lalu dikonsumsi."

"Iya, Dok."

Aku nggak mungkin bilang kalau sarden itu pemberian kakakku sendiri. Malu, punya keluarga tak punya hati macam Mbak Tiara.

"Eum, saya masuk duluan ya." Dokter Renaldi pun membayar makanan dan minumannya, lalu pamit padaku untuk kembali bertugas.

"Semangat, Dok," kataku, dia hanya tersenyum.

Terlihat wajahnya yang lelah, tapi dia harus bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Nggak bisa bayangin kalau punya suami dokter yang super sibuk kaya gitu. Mengabdi untuk orang sakit, yang bahkan tidak peduli dengan kesehatannya sendiri.

"Bengong, Neng? Dokter Aldi memang gitu orangnya, sedikit cuek, tapi Baek kok," ucap mas pemilik warung.

"Nggak bengong saya," jawabku menunduk malu, sesekali menyesap minuman di tanganku.

Parcel Kadaluarsa Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang