Bab 3

209 43 2
                                    

BAB 3

Aku menunggu dengan cemas di depan ruang gawat darurat. Jantungku benar-benar berdetak begitu cepat, rasa takut kembali menyelimuti.

Bayangan akan kehilangan Bapak waktu itu kembali menghantui. Aku nggak mau sampai Ibu ikutan pergi, sementara aku belum bisa membahagiakannya.

Aku nggak akan memaafkan Mbak Tiara, kalau sampai Ibu kenapa-kenapa karena makanan pemberia darinya itu.

Aku melihat jam di dinding rumah sakit, jema berbeentuk bulat itu sudah menunjuk pukul 21.15. Hampir satu jam Ibu berada di dalam, semoga dokter keluar dengan memberikan kabar baik untukku.

Klek.

Pintu ruangan terbuka, seorang pria muda berkulit putih dan berkacamata keluar. Ia memakai seragam putih khas dokter pada umumnya, berkalung stetoskop, dan aku langsung menghampirinya.

“Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok? Ibu baik-baik saja kan?” tanyaku dengan meremas kedua tangan yang sudah mulai basah.

“Alhamdulillah, Bu Dewi selamat, dan untungnya cepat dibawa ke sini dan segera ditangani. Karena terlambat sedikit saja, mungkin nyawa Bu Dewi tidak tertolong,” ujar sang dokter.

“Alhamdulillah, ya Allah.” Aku bernapas lega. “Saya boleh lihat Ibu saya?”

“Boleh silakan, nanti akan ada suster yang mengarahkan untuk Bu Dewi dipindahkan ke ruang rawat inap.”

“Baik, Dok terima kasih.”

“Sama-sama.”

Setelah dokter pergi, aku bergegas masuk ke ruangan Ibu. Di sana kulihat Ibu berbaring lemas dengan mata sayu dan bibir yang pucat. Kedua matanya terbuka sedikit menatapku yang datang.

“Ibu, Ibu nggak apa-apa kan?” Aku langsung memeluk Ibu dan menangis di atas tubuhnya.

“Ibu nggak apa-apa, Nduk,” ucap Ibu pelan dan tangannya mengusap punggungku.

Aku segera bangun dan mengusap air mataku, melihat tangan Ibu yang diinfus, rasanya tak tega. Harusnya di usia Ibu yang mulai senja ini, beliau tak lagi merasakan kesusahan, harusnya aku bertanggung jawab atas hidup Ibu. Tapi, aku malah ceroboh, membiarkan Ibu memasak makanan basi itu.

“Nggak usah nangis, kaya anak kecil saja,” ucap Ibu lagi.

“Ya aku kan takut Ibu kenapa-kenapa, lagian aku kan udah bilang, sardennya kadaluarsa, jangan dimakan.”

“Ya Ibu pikir namanya di dalam kaleng itu pasti awet, tanggal kadaluarsa juga baru beberapa bulan, belum tahunan.”

“Wes tow, Bu. Pokoknya makanan dari Mbak Tiara mau kubuang saja. Dari pada kita celaka.”

Ibu hanya tersenyum kecil, tidak membalas ucapanku lagi. Semoga saja Ibu segera sadar kalau anak perempuannya yang satu itu sudah berbeda sekarang.

“Permisi, Mbak. Ibu Dewi akan dibawa ke ruang inap, bisa tolong ke bagian administrasi terlebih dahulu?” Suara seorang suster seketika mengejutkanku.

“Oh iya, Sus. Baik. Bu, sebentar ya, aku ngurusin itu dulu,” pamitku.

Ibu hanya mengangguk, dan aku melangkah mengikuti suster tersebut.

Karena Ibu memakai BPJS, aku menyerahkan berkas milik Ibu yang biasa digunakan untuk periksa, atau hanya sekadar cek gula, asam urat dan tensi darah.

Rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan dari puskesmas dekat rumah. Aku sering mengantar Ibu berobat ke sini, karena hanya di sini rumah sakit besar yang mau menerima pasien BPJS.

Parcel Kadaluarsa Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang