Bab 5

160 47 5
                                    

BAB 5

Aku meletakkan ponsel kembali ke dalam tas, dan bergegas keluar dari gedung perkantoran ini, tapi tidak untuk pulang dan menjaga kedua keponakanku itu. Melainkan aku masih ada panggilan interview lagi di tempat lain yang jadwalnya setengah jam lagi.

Aku harus cepat karena jarak tempuh dari sini bisa dua puluh lima menitan, setelah aku melihat di google maps.

Kulaju motor dengan kecepatan sedang, meskipun aku terburu-buru, aku juga harus hati-hati. Kalau sampai aku celaka, aku nggak bisa jagain Ibu.

Nggak mungkin kan nanti Ibu kalau aku tinggal lalu ikut Mbak Tiara di rumah mewahnya itu, bisa-bisa ibunya sendiri nanti dijadiin babu sama dia.

Aku pernah ke rumahnya dua kali, kalau nggak kepepet banget nengokin keponakan yang sakit juga aku ogah. Apalagi waktu itu Ibu yang ngajak, mana baru sampe depan pagarnya aja kita berdua dikira pengemis.

Kunjungan kedua waktu itu karena diajak Mbak Tiara, biasa dia mau pamer sama aku dan juga Ibu. Kalau hidup dia sekarang sudah enak, suami kaya macam sultan, mau makan apa aja tinggal beli, mau ke luar negeri tinggal terbang.

Namun, entah mengapa sifatnya menjadi berubah. Dulu Mbak Tiara orangnya royal, sebelum kenal Mas Anjas dia sempat pacaran sama teman satu pabriknya. Tapi diselingkuhin, karena katanya dia nggak menarik dan nggak cantik.

Mbak Tiara diet habis-habisan, uang gajinya buat beli skincare, beli baju, pokoknya dia rubah penampilan sampai ketemu sama Mas Anjas itu.

Ternyata uang nggak hanya bisa merubah hidup seseorang, tapi juga kepribadiannya.

Meski begitu, Ibu selalu membanggakan Mbak Tiara, karena sudah menjadi orang sukses juga wanita karier. Walaupun kami sering diperlakukan tidak adil, tapi para tetangga melihatnya berbeda.

“Enak ya Bu Dewi mantunya kaya, nggak pusing mikirin kebutuhan.”

“Nggak kaya anak saya, mantu saya pengangguran.”

“Mantu saya juga Cuma kang ojek, pas Pasan penghasilannya, mana anaknya masih kecil-kecil.”

“Emang ada laki tukang kawin melulu saban tahun bikin anak, tapi gaji kecil, kita neneknya yang ketumpuan jagain cucu.”

“Belum lagi kalo pada numpang di rumah, apa lagi berantem, larinya ke rumah, minta sembako, minta ini minta itu.”

Masih jelas banget ucapan para tetangga ke Ibu setiap mereka beli dagangan Ibu di rumah dan aku yang melayani.

Tanpa terasa akhirnya aku sampai di sebuah gedung perkantoran tapi lebih mirip ruko-ruko gitu. Menurut alamatnya letak kantornya di samping Bank BRI.

Aku memarkir kendaraan di depan kantor tersebut, dan disambut oleh seorang satpam.

“Maaf, Mbak sudah ada janji?” tanyanya

“Eum iya, Pak. Saya ada panggilan interview. Ini PT Intisari Jaya kan?”

“Oh iya, bertemu dengan?”

“Ibu Shelin.”

“Ke lantai dua ya, Mbak. Ruangannya sebelah kanan. Langsung naik saja.”

“Makasih, Pak.”

Pintu kaca tersebut dibukakan oleh satpam itu. Aku langsung menuju anak tangga dan naik ke lantai dua yang dimaksud.

Ternyata di depan ruangan itu sudah banyak calon karyawan yang sedang menunggu panggilan juga. Aku duduk di kursi bagian tengah, menunggu bersama mereka.

Parcel Kadaluarsa Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang