two || anak lemah

505 36 0
                                    

Melihat sesuatu yang di milikinya berbeda dengan milik orang lain, tentunya seseorang akan berpikiran jika dia tidak akan merasakan perihal yang menyenangkan. Karena dia sudah dibedakan, dia tidak mungkin merasakan hal yang sama seperti halnya dengan kebahagiaan. Barangkali perihal bahagia untuknya itu mustahil sekali.

Karlian tidak tahu tentang kebahagiaannya sendiri, dia hanya tahu jika berbeda. Buktinya saja dia penyakitan, ketika semua teman seumurannya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Maka Karlian hanya bisa terbaring lemah di atas ranjangnya, bahkan selalu di bantu untuk kuat oleh sebuah cairan infus yang dipasangkan pada punggung tangannya. Karlian ingin sekali mengeluh, dia tidak suka berada dalam keadaan seperti ini.

Bagaimana caranya untuk menyudahinya? Kenapa hanya dia yang merasakannya. Sedangkan Karlan tidak sama sekali. Tapi, apa boleh buat. Dia juga tidak ingin Karlan merasakan hal yang sama sepertinya.

"Kenapa kok ngelamun? Hari ini Karlan ada les. Jadi pulangnya agak telat. Adekmu itu berjuang keras, Karlian. Dia ingin menyembuhkanmu," kata sang papa tersenyum hangat terhadap putra sulungnya.

Karlian membalas senyumannya itu, meskipun dia tidak memahami arti senyumannya sendiri. Perasaannya tidak sesenang itu, dari dulu juga orangtuanya mengatakan bahwa dia akan disembuhkan. Tapi, sampai sekarang pun. Karlian masih berada dalam kondisi yang sama. Dasar lemah, begitulah yang Karlian pikirkan tentang dirinya sendiri.

Walaupun lemah Karlian berusaha untuk kuat, dia berjuang dengan keras untuk melawan penyakitnya. Jika tidak, sangat mustahil sekali bisa hidup sampai detik ini.

"Karlian, di masa depan kau ingin menjadi apa?" Sang papa mempertanyakan apa yang ingin Karlian wujudkan nantinya. Karena di sini dia tidak menganggap Karlian berbeda. Jika Karlan bisa bermimpi, maka Karlian juga harus bisa.

Karlian terdiam beberapa saat, mengenai keinginannya. Dia tidak tahu, sebab Karlian tidak memikirkan hal seperti itu. Sejujurnya dia hanya berpikiran tentang kematian. Barangkali kematian adalah penyudahan dari rasa sakitnya selama ini.

Di depan semua orang yang mengasihinya, Karlian berusaha untuk tidak terlihat kesakitan. Dia tidak ingin melihat mereka mengkhawatirkannya yang tidak berguna itu. Karena bagaimanapun, Karlian tidak seharusnya membuat mereka mengkhawatirkannya terus-terusan.

"Belum kepikiran, pa. Nanti kalau udah kepikiran, Karlian kasih tahu papa," balasnya lemah lembut. Wajahnya yang imut itu, membuat papanya merasa gemas sendiri.

Karlian sudah sering diperlakukan seperti anak kecil, padahalkan dia sudah besar. Karlian saja yang diperlakukan sedemikian. Sekalipun dia ingin sekali diperlakukan seperti adiknya. Lagi-lagi Karlian iri, seharusnya dia tidak perlu merasa iri. Bagaimanapun dia memang ditakdirkan seperti ini.

Ternyata menjadi orang lemah dari lahir itu tidak menyenangkan. Bahkan untuk merasakan kebahagiaan saja, Karlian tidak bisa. Dia pun tidak bisa menciptakannya sendiri, Karlian hanya sering bergantung pada orang lain. Dan itu benar-benar menyebalkan sekali.

"Mama! Papa! Karlan pulang," seru Karlan yang baru saja pulang dari tempat bimbelnya.

Dia melambaikan tangannya pada karlian, dan langsung mendekat ke arahnya. Karlan memang tidak bisa dipisahkan oleh kakaknya, dia selalu memikirkan Karlian kapanpun dan di manapun.

"Gimana sama les nya?" Karlian bertanya alih-alih penasaran. Padahal dia tidak ingin mendengarkan apapun, dia hanya terpaksa saja.

"Aku janji bakalan jadi dokter yang hebat, kak. Biar kakak bisa sembuh."

Karlian tersenyum tipis saat mendengarnya, aneh rasanya. Kenapa Karlan seyakin itu pada perkataannya sendiri. Sementara Karlian tidak percaya apapun. Dia sudah tahu akhirnya akan menjadi seperti apa juga. Karena bagaimanapun, dia sudah lemah sekali. Bertahan sejauh ini merupakan keberuntungan yang tak terduga.

Demi Kehidupan [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang