Selama dua minggu lebih berada di rumah sakit, Karlian menghabiskan waktunya dengan kesunyian. Meskipun banyak orang-orang terdekatnya yang selalu berada di dekatnya pula, Karlian merasa dunianya benar-benar suram.
Barangkali dia berpikir jika kematiannya sudah semakin dekat. Karlian tidak bisa apa-apa selain pasrah. Karena lagian, pada akhirnya dia hanya akan mati. Sebuah ending yang bisa di tebak dengan mudah.
Untuk beberapa hari yang lalu dokter menatapnya dengan iba. Karlian memang tidak mendengar apapun yang sudah disampaikan oleh dokter, yang selama ini menangani keadaannya. Akan tetapi, setelah dokter itu memberitahu kondisinya pada kedua orangtuanya. Keadaan menjadi berubah drastis, tidak ada lagi senyuman manis dari kedua orangtuanya.
Jujur saja, Karlian menjadi sangat yakin. Jika tidak ada lagi yang bisa dipertahankannya. Sekalipun dia harus bertahan demi hidupnya.
"Kak, aku beliin bunga nih. Kakak harus ngeliat bunga-bunga indah ini. Maaf karena aku enggak bisa ngelakuin banyak hal, tapi aku masih berusaha untuk kakak," ucap Karlan yang selalu menyempatkan waktu, untuk mengatakan beberapa kalimat pada kakaknya.
Meskipun Karlian tidak pernah menanggapinya, tatapan mata kakaknya pun teduh sekali. Memang benar, tidak ada yang baik-baik saja jika mengetahui hidupnya tidak bisa bertahan lama.
Karlan yang masih berharap, dia tidak menyerah. Hingga jika esok adalah yang terakhir, Karlan masih sempat untuk berusaha dengan baik. Semuanya demi kehidupan kakaknya, hanya Karlan yang berusaha untuk kuat sendirian. Ketika orangtuanya pun tidak memiliki kekuatan untuk hal itu.
"Karlan, kenapa kau berjuang dengan sungguh-sungguh?" Tanya Karlian setelah beberapa minggu terakhir memilih untuk berdiam diri. Bahkan sampai tidak mengatakan sepatah katapun.
"Kak semuanya yang aku lakukan selama ini demi kakak, demi kehidupan kakak kedepannya."
Mendengar kalimat itu Karlian ingin tertawa lepas, bagaimana tidak. Ketika dia tidak yakin akan kehidupannya sendiri, seseorang yang sangat menghargai hidupnya. Justru berusaha mati-matian untuk membuatnya bertahan.
Kenapa, kenapa dia mati-matian untuk hal seperti itu. Padahal dia pun tahu, pada akhirnya Karlian bisa saja mati.
"Jangan melakukan banyak hal hanya untukku, semuanya bisa sia-sia lho. Lebih baik kau kau pikirkan masa depanmu, dan lanjutkan perjuanganku yang tertunda," tutur Karlian tersenyum tipis pada bibirnya yang pucat.
"Ini belum berakhir kak, walaupun memang berada di titik terakhir. Kakak masih punya waktu, masih punya kesempatan buat bertahan. Bahkan sekalipun berada di akhir hidup, kakak enggak boleh nyerah!" Sentak Karlan yang justru menangis tersedu-sedu dihadapan Karlian.
Ini menyakitkan sekali bagi Karlian, dia tidak mau adiknya menangis untuknya. Lagian dia tidak pantas untuk ditangisi, Karlian bukannya tidak mau bertahan. Dia sudah kelelahan, dan tidak mampu lagi untuk mempercayai sebuah kehidupan.
Tapi, Karlan terus memperjuangkan impiannya. Seakan-akan Karlian masih bisa bertahan, padahal sudah pasti semuanya akan sia-sia saja.
"Dari pada kau berusaha sekeras itu, relakan kepergian ku nanti."
Sungguh mendengar Karlian mengatakan kalimat seperti dirinya akan mati dengan cepat, membuat Karlan ingin memarahinya dengan keras. Bagaimana bisa dia mengatakannya dengan tenang sekali, apakah itu merupakan kebaikan untuknya? Karlan ingin sekali kakaknya masih percaya dengan kehidupannya sendiri.
Apa salahnya bertahan? Karlian juga belum mati. Hidupnya tidak berhak ditentukan oleh orang lain. Tidak ada yang boleh mengatakannya bisa mati kapan saja, sebab hanya Tuhan yang menentukannya. Semua itu rahasia, bahkan kematian sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Kehidupan [✓]
FanfictionApa jadinya sebuah pertahanan untuk tetap hidup, sedangkan kematian justru berada di depan mata. Untuk apa juga masih bertahan, jika pada akhirnya kematianlah yang lebih dulu datang menghampiri. ✻ʜɪɢʜᴇsᴛ ʀᴀɴᴋɪɴɢ✻ ✐1obat ✐3rasasakit ✐5derita ✐5jantu...