Chiaroscuro (1): Satya

233 27 3
                                    

"Tumben banget kamu ke sini duluan?" Setelah mengatakan itu, seringai puas menghiasi wajah kakak lelakiku, Mas Caesar. Dia memang lahir dari ayah dan ibu yang sama denganku, tetapi seperti orang asing yang kebetulan berada dalam satu KK.

Segera kutengadahkan tangan ke arah wajahnya dan menyahut, "Katanya Bobi, Mas Caesar punya nomornya. Bisa kasih sekarang? Aku sibuk. Mau ada meeting bulanan."

Mas Caesar terbahak-bahak. Dia meletakkan bordeaux glass kosong yang tadi digenggamnya ke meja, di samping botol 1947 Cheval Blanc, lalu bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku yang masih berdiri dengan tatapan tajam kepadanya.

Kakakku itu merogoh sesuatu dari dalam kantung celana jinsnya, mengeluarkan ponsel, dan melambaikan benda pipih tersebut di depan wajahku. "Kamu tau kalau urusan sama aku itu enggak pernah gratis sejak dulu, kan?"

Aku menurunkan tangan dan menghela napas dengan kesal. "Apa kali ini?" tanyaku, setengah menggerutu.

Kakakku itu tertawa pelan, lalu menjawab, "Saham yang baru kamu beli di LaVoute--"

"Mas!" Tak sadar aku memotong perkataan Mas Caesar dengan nada tinggi. "Tapi, saham itu nilainya--""

"Kamu butuh apa enggak?" Mas Caesar menatapku setengah mencemooh sambil terus mengayunkan ponselnya di depan wajahku.

"Ah, sialan kamu, Mas!" Segera kurebut benda di tangan Mas Caesar sambil terus memaki. Sementara kakakku itu mengatakan 'you're welcome', lalu tertawa puas sambil kembali duduk di sofa. Tentu saja dia puas, karena itu artinya aku sudah kalah dalam negosiasi kami.

"Mas simpan dengan nama apa?" tanyaku sambil mencari di kontak.

"Ya, namanya, lah. Dewi," jawab Mas Caesar sambil menuangkan wine dari dalam botol 1947 Cheval Blanc ke bordeaux glass-nya, lalu menyandarkan punggung ke sandaran sofa dan menatapku yang tengah melihatnya dengan ekspresi kesal. Dia tersenyum geli dan kembali berkata, "Dewi Kakaknya Satya."

Kuacungkan jari tengah tangan kiriku pada Mas Caesar yang sudah terbahak-bahak makin keras, sementara tangan kananku segera mencari kontak dengan nama yang disebutkan Mas Caesar itu. Setelah ketemu nama Dewi Kakaknya Satya, segera kukirim kontaknya ke ponselku lewat WA.

"Pastikan Mas Caesar datang makan malam keluarga akhir pekan ini," kataku sambil berjalan dan meletakkan ponsel kakakku tersebut di atas meja.

Mas Caesar menggeleng, lalu meneguk wine-nya. "Aku ada kencan sama Valerie," jawabnya sambil lalu.

"Ya, ajak aja Mbak Val sekalian. Repot amat!" Aku menyahut dengan sewot, sambil merebut bordeux glass dari tangan Mas Caesar, lalu meneguk habis sisa wine di dalamnya. Kuletakkan gelas itu dengan kasar di meja, lalu menatap kakakku lagi dan berkata, "Itu kalau Mas masih butuh warisan dari Papa dan Mama."

Mas Caesar mengacungkan jari tengah tangan kanannya padaku dengan wajah datar, membuatku segera mengatakan 'you're welcome' padanya. Lalu aku berbalik, pergi meninggalkan kakakku tersebut tanpa mengatakan apa pun lagi.

Solo sore hari ini mendung. Entah berapa menit atau jam lagi, sepertinya hujan akan turun. Beberapa pegawai di studio Mas Caesar menyapaku dengan sopan dan hormat, ketika aku keluar dari ruang kerja kakakku itu.

Sesampainya di dalam mobil, aku segera meraih tas kecil di kursi samping pengemudi dan mengambil ponselku di sana. Aku tersenyum tipis saat menemukan kontak yang baru saja kudapat dari Mas Caesar tersebut.

Ya, setelah lebih dari sembilan tahun berlalu, akhirnya aku bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu lagi dengan Mbak Dewi. Entah bagaimana bisa perempuan yang enam tahun lebih tua dariku itu menghilang seperti lenyap ditelan bumi, membuatku seperti orang gila karena tidak bisa menemukan jejaknya sedikit pun. Tentu saja aku frustrasi, karena hanya dia yang bisa menjadi kunci untukku dapat mengetahui di mana keberadaan Mas Satya sekarang.

Bittersweet of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang