Without You

5.1K 296 14
                                        

London terasa asing tanpa kamu.
London terasa dingin tanpa kamu.
Dan aku bukan aku tanpa kamu.
Dan aku tidak mengenal diriku tanpa kamu.

* * *

Aku mengeratkan jaketku, angin berhembus pelan namun cukup untuk membuatku merasa kedinginan. Aku mengulurkan tanganku, merasakan butiran salju yang mengenai telapak tanganku. Terasa dingin, aku tersemyum kecil apa kabar kamu disana? Apa kamu baik-baik saja? Tiga tahun dan tak ada satu pun dari kita yang saling menghubungi. Apa memang sejauh itu? Tidak akan teraih. Kamu … terlalu jauh.

"Ah! Ari! Kamu disini," Gian seperti biasa berlari dan langsung memeluk lengan kiriku. Aku tersenyum dan mengusap kepalanya, "Ya, aku disini, kau sendiri dari mana?"

Gian tersenyum, lebar. "Bertemu dengan Dante. Nanti malam Dante berencana memperkenalkanku pada orang tuanya, menurutmu aku harus bagaimana?"

Aku mengernyit, aku sendiri tak tahu. Aku tak pernah berada di kondisi seperti Gian saat ini. Jadi aku menggeleng, "Tak tahu, tapi menurutku ada baiknya jika kamu tetap menjadi dirimu sendiri. Itu yang terbaik dan yang paling nyaman, bukan?"

Senyumnya kembali terbit, "Ya! Kamu benar! Baiklah, sekarang lebih baik aku pulang. Kamu akan tetap disini 'kan?"

Aku mengangguk, "Ya."

"Kalau begitu aku pulang, sampai jumpa." Gian memelukku sekilas sebelum akhirnya berbalik dan pergi. Aku kembali terdiam di bangku taman, tanah disekitarku telah menjadi putih. Waktu itu, sesuatu yang cepat pergi bukan? Waktu itu, sesuatu yang tak dapat kita ulangi bukan? Dan saat dia pergi kita baru menyesalinya.

Tiga tahun tanpa dia terasa menyakitkan. Katakan aku melankolis, hanya saat ini semua terasa lebih sulit. Aku kembali ke kehidupan lamaku, sendiri. Kembali ke sekolah lamaku, mengikuti tes di salah satu universitas terbaik di Inggris dan menjadi salah satu mahasiswa di jurusan teknik penerbangan. Aku memutuskan untuk meneruskan mimpi ayah. Dan aku akan membuat orang-orang terbang dengan aman, itu akan menjadi prioritasku.

"Va," teriakan itu membuatku menoleh. Seorang anak laki-laki yang berumur sembilan berlari ke arahku, sementara seorang gadis yang seumuran dengan anak laki-laki telah berada di depanku. Gadis kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit, wajahnya memerah entah karena dingin atau karena dia bahagia.

"Savannah, jangan berlari seperti itu. Kamu bisa jatuh," anak lelaki itu menggandeng tangan Savannah -nama gadis kecil itu-. Mereka berdua mengingatkan aku pada diriku dulu. Bocah lelaki itu menangkupkan kedua tangannya pada pipi Savannah, "Dengar, jangan berlari lagi, disini licin, Va. Apa kamu ingin terjatuh?"

Gadis kecil itu tersenyum, "Maaf, Rio. Tapi lihat, aku baik-baik aja."

"Sava! Jangan lari begini, kalo nanti kamu jatuh gimana? Nanti kak Virza bisa marah sama aku!" Aku menyentak, sementara Sava kecil langsung terisak. "Maaf… maaf."

Aku mengerjap, ingatan itu tiba-tiba terlintas. Aku tersenyum kecil, "Kalian dari mana? Dan mana orang tua kalian?"

"Mama said, don't talk to stranger." Si anak laki-laki bernama Rio itu berkata sambil merentangkan kedua lengannya di depan Savannah, membuat perisai untuknya. Tawaku pecah saat mendengarnya, "Aku hanya bertanya. Baik lah kalau begitu, aku Ariojuna. Kamu bisa memanggilku, Rio. Nama kita sama bukan?"

Anak lelaki itu menyipit, "Mencurigakan. Berikan kartu identitasmu, baru aku percaya."

Dengan senang hati aku memberikannya, "Ini, baca saja."

Rio mengangguk kemudian mengembalikan kartu identitasku, "Baik lah mister aku percaya." Dia menyuruh Savannah untuk duduk di sampingku. Kemudian, "Orang tua kami sedang membeli hadiah natal."

Diary of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang