Remorse - 2

2.1K 281 32
                                    

.

.

.

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****


"Apa aku boleh bermain dengan anak-anak yang ada di sana, Ayah?"

Naruto menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Kawaki, ke tempat di mana ada sekumpulan anak-anak yang tengah bermain balon tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.

Mengangguk, Naruto berucap dengan lembut, "Tentu saja boleh, tapi jangan ke tempat lain yang lebih jauh, oke?"

Kawaki kontan tersenyum lebar dan memeluk kaki Naruto erat. "Terima kasih, Ayah!" pekiknya girang, lalu berlari begitu saja meninggalkan sang ayah beserta sosok bibi yang baru dikenalnya.

Hinata yang hanya terdiam mengamati interaksi ayah dan anak itu, sedikit tersentak kaget begitu Naruto memulai kembali percakapan di antara mereka.

"Apa kabar, Hinata?"

"Eh." Hinata berdeham singkat, kaku dan canggung, sebelum berkata, "Aku baik, Naruto. Bagaimana denganmu?"

"Syukurlah. Aku juga baik," balas Naruto ramah.

"Seperti yang kulihat," Hinata tersenyum kecil yang sedikit dipaksakan. "Kau bahkan ... sudah menjadi seorang ayah ternyata."

Ada gejolak tersendiri yang membanjiri dada Hinata kala mempertegas situasi di antara mereka. Dan Naruto menambah parah semuanya dengan tersenyum hangat nan bangga.

"Iya," sahut Naruto singkat lalu menoleh ke arah Kawaki yang kini tengah asyik dengan anak-anak sebayanya. Tawa kecil dari wajah lucu itu membuat hatinya menghangat bahagia.

"Apa aku boleh tahu usianya?" tanya Hinata sebelum merutuk dalam hati, menyesali rasa ingin tahunya yang terlampau besar menyangkut kehidupan yang telah Naruto jalani tanpanya.

Naruto menoleh, masih dengan senyuman yang terpatri dengan manis di wajah aristokratnya. "Sebentar lagi dia akan berulang tahun yang kelima."

"Woah." Hinata tercengang luar biasa, lalu tanpa dapat dicegah kembali melontarkan kalimat lainnya, yang tidak seyogianya Ia berikan pada mantan kekasihnya itu. "Kau menemukan penggantiku secepat itu, Naruto?" tanyanya tak menyangka, bahkan mendekati sinis.

Terlihat dengan jelas di mata wanita itu, bagaimana senyuman Naruto memudar perlahan, berganti raut miris. "Aku ... maaf," balas Naruto seadanya, kehabisan kata-kata.

Hinata merasakan matanya memanas. Inilah mengapa Ia lebih memilih untuk tidak mengetahui apa pun sebelumnya, karena saat ini pun, di saat telah banyak waktu yang berlalu, kenyataan bahwa Naruto telah melupakannya masih dapat melukainya sedalam ini.

"Jangan meminta maaf," ucap Hinata mengalihkan pandangannya agar Naruto tak melihat kesedihan dan luka dalam yang tersirat di sana. "Kau berhak bahagia, Naruto. Apalagi setelah apa yang aku lakukan dulu."

"Itu hanyalah masa lalu, Hinata. Tidak perlu diingat lagi."

"Sungguh?"

Naruto memberikan anggukan kecil.

"Termasuk kenangan kita bersama?" Terkutuklah bibir Hinata yang tak memiliki kuasa untuk mencegah semua perkataan itu keluar.

Naruto mengerjap sesaat, menatap Hinata dengan pandangan terkejut.

"Ah, maaf. Masa lalu seharusnya memang tidak diingat dan dibicarakan lagi," sambung Hinata sebelum Naruto dapat berbicara menanggapi. "Baiklah, kurasa aku akan pulang sekarang. Aku kemari hanya ingin mengantarkan kado pada Shikadai. Sampai bertemu lagi kapan-kapan, Naruto."

Hinata berlalu, meninggalkan Naruto begitu saja tanpa menunggu balasan dari pria itu.

Lebih baik begini, batin Hinata sembari menaruh gelasnya pada meja terdekat dan melangkah keluar dari ballroom bahkan tanpa berpamitan pada sang empunya acara.

Tidak, ia tidak ingin terlihat menyedihkan, apalagi dengan mata memerah dan nyaris menangis seperti saat ini.

Hinata merasa lemah, dan itu karena pria yang dulu dia tinggalkan.

Langkah kakinya semakin lama semakin cepat menuju tempat parkir di mana mobil miliknya terletak. Dan di saat ia baru saja akan membuka pintu mobilnya, sebuah lengan kekar menyelinap masuk dari sisi pinggangnya, membalik tubuhnya dengan begitu mudah dan membuatnya terkejut bukan main.

"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Naruto dengan wajah datar, wajah yang teramat jarang dilihat oleh Hinata.

"Tidak perlu, Naruto. Lagipula bagaimana dengan anakmu—"

"Aku sudah menitipkannya pada Shikamaru dan Temari," Naruto memotong perkataan Hinata dengan segera.

"Tapi—"

Naruto meraih tangan Hinata, menggenggamnya erat dan menariknya begitu saja tanpa repot-repot membiarkan wanita itu menyelesaikan ucapannya.

Hinata tidak bisa lebih terkejut dari ini, terlebih begitu merasakan tangan besar nan hangat milik Naruto yang melingkupi tangannya lagi setelah sekian lama. Air matanya jatuh tak tertahankan. Terlalu banyak hal yang ia rasakan saat ini. Dan semuanya bercampur aduk menjadi satu.

Mungkin sebentar lagi Naruto akan menertawainya, mengejeknya karena kini, dialah yang menanggung penyesalan itu.

.

.

.


.

Tbc

Remorse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang