Remorse - 4

1.9K 260 19
                                    

.


.

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


****



"Di sini saja, Naruto." Hinata berbalik, menatap Naruto yang mengantarnya sampai ke depan unit apartemennya.

Sungguh, wanita itu tidak mengerti mengapa sang mantan kekasih begitu bersikeras mengantarnya sampai sejauh itu. Ia sudah menolak mentah-mentah, tetapi Naruto yang sekarang adalah Naruto yang lebih mementingkan keinginannya sendiri.

Jelas, karena Hinata bukan lagi prioritas utamanya, yang harus dituruti setiap keinginannya.

Naruto sendiri hanya bergeming dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Aku mengantarmu kemari dan kau sama sekali tidak berniat menawariku untuk mampir sebentar?"

Hinata memutar bola matanya jengah. "Apa kata orang-orang jika mereka tahu bahwa seorang pria yang sudah menikah sepertimu mampir ke apartemen mantan kekasihnya?" cibir Hinata kemudian.

"Apa kau melihat orang lain selain kita di sini?" Naruto menoleh ke kanan kiri, ke arah koridor yang kosong dan sepi. "Tidak, 'kan? Tidak akan ada yang tahu."

"Pulanglah, Naruto," pinta Hinata lirih sembari memejamkan matanya lelah. "Aku mohon."

Untuk kali ini saja, Hinata berharap Naruto akan menurutinya. Ia benar-benar ingin sendiri, melepas topeng yang dikenakannya. Terlalu melelahkan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena pada kenyataannya tidak demikian. Hatinya, batinnya ... semuanya tidak baik-baik saja.

"Oke."

Satu kata itu membuat mata Hinata kontan terbuka, memandang Naruto yang kini balik memandangnya dengan raut wajah yang lebih datar daripada sebelumnya. Hinata tahu, lagi-lagi ia membuat pria itu tersinggung karena pengusirannya. Namun, ini adalah yang terbaik. Juga jika bisa, ini adalah kali terakhir mereka saling berinteraksi.

"Aku pulang," tambah Naruto sebelum berbalik menuju lift, tanpa menunggu sahutan apa pun dari Hinata.

Dan begitu saja. Semuanya kembali berakhir begitu saja dengan amat menyedihkan seperti lima tahun silam-saat Hinata menangis dan memohon perpisahan di dalam mobil Naruto.

Membayangkan bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya melihat pria itu, sebelum kembali tidak bertemu entah untuk berapa tahun lagi, hati Hinata seakan diremas dengan kuat. Teramat kuat hingga untuk menarik napas saja, rasanya terlalu sulit.

Diamatinya punggung lebar Naruto yang menjauh darinya dengan mata yang berkaca-kaca. Katakanlah Hinata memang sudah gila, telah kehilangan kewarasannya, hingga wanita itu tanpa sadar melangkah-nyaris berlari menyusul Naruto dan menabrakkan dirinya ke tubuh pria itu. Memeluk punggung Naruto yang kontan berhenti dan menegang di tempat.

"Sebentar saja," isak Hinata tanpa dapat dicegah. "Aku mohon, sebentar saja."

Ya, sebentar saja tidak masalah. Itu sudah lebih dari cukup untuk Hinata melepaskan segenap rasa rindunya yang terlalu membuncah pada Naruto, karena Hinata tidak lagi mampu memikul semuanya sendirian.

"Hinata." Naruto berusaha berbalik dan melepas pelukan Hinata pada perutnya, tetapi wanita itu menggeleng sembari tersedu keras.

"Aku minta maaf, Naruto," ucap Hinata kemudian. Tergugu menyedihkan. "Aku minta maaf, untuk semuanya."

"Hinata, lepas-"

"Iya, aku tahu ini salah," Hinata memotong perkataan Naruto dengan cepat. "Aku sadar ini salah, Naruto. Tapi aku mohon, biarkan begini sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf dengan layak, karena aku sadar, aku belum pernah melakukannya sebelumnya."

Jemari Hinata meremas tuksedo yang dikenakan Naruto dengan erat. Air mata wanita itu semakin mengalir deras, terlebih saat Naruto melepas paksa pelukannya dengan gerakan yang sedikit kasar.

Pria itu pasti marah karena tindakan lancangnya, Hinata tahu. Hinata tidak akan keberatan jika setelah ini Naruto memakinya. Ia tahu bahwa dirinya telah kelewatan. Namun, Hinata berjanji bahwa ini adalah yang terakhir kalinya.

"Maaf. Maaf, Naruto," ulang Hinata berkali-kali, menunduk karena tak mampu membalas tatapan tajam dari iris biru safir milik Naruto. Belum lagi dengan ekspresi keras yang tersampir di wajah tampan pria itu.

Hinata hanya bisa memejamkan matanya saat merasakan tangan Naruto yang terangkat dan kemudian meraih dagunya, memaksanya untuk mendongak.

"Buka matamu dan tatap aku, Hinata," perintah Naruto yang dijawab dengan gelengan oleh sang mantan kekasih. "Baiklah kalau begitu."

Hinata menggigit bibirnya keras-keras guna menahan isakan yang kemudian terbungkam oleh sesuatu yang mendarat di sana. Matanya yang basah kontan terbuka dan membelalak kaget begitu mendapati Naruto yang kini menunduk dan menyatukan bibir mereka.

Setelah bertahun-tahun, bibir mereka kembali bertaut, dengan Naruto yang mendominasi seperti biasanya. Pria itu melumat bibirnya dengan keras seraya merapatkan tubuh mereka tanpa menyisakan jarak sama sekali.

Akal sehat Hinata berkata untuk mendorong pria itu menjauh, berusaha menyadarkannya bahwa mereka telah benar-benar melampaui batas. Namun, hatinya tak dapat berbohong bahwa ciuman tersebut ... adalah hal yang takkan pernah bisa ditolaknya.

Hinata menginginkannya. Menginginkan Naruto, sang mantan kekasih yang telah disakitinya.

Persetan dengan batasan. Persetan pula dengan status. Karena nyatanya, hal yang merupakan sebuah kesalahan ini ... terasa begitu benar oleh Hinata.

.

.

.

.

Tbc

Remorse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang