Remorse - 15

1.8K 264 83
                                    

.



.


.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



****



Hinata baru bisa menghela napas lega ketika melihat Naruto tertidur lelap di atas ranjang usai dibantu oleh Hinata berganti baju, membasuh badan dan meminum obat. Ia sendiri baru menyadari bahwa Naruto sedang tidak baik-baik saja setelah melihatnya muntah di halaman rumah, dan hal tersebut membuatnya panik setengah mati.

Hinata juga memilih untuk tidak mendebat Naruto ketika pria itu meminta tolong padanya agar dipapah masuk ke dalam rumah, bahkan hingga ke kamar dan disaksikan oleh Hana yang saat ini bergabung bersama mereka dengan membawa serta Kawaki.

"Ayah kenapa?" tanya bocah kecil itu dengan nada polos dan wajah mengantuk.

"Dia sedang sakit, Sayang," ucap Hana menjawab. "Kawaki mau menemani Ayah di sini?" tawarnya yang segera dibalas anggukan kecil dari Kawaki. "Oke, kita temani Ayah, ya."

Hinata menyimak dengan kernyitan yang mulai terbentuk di kening. Kedua orang di hadapannya itu sedang mengobrol seolah-olah dirinya adalah makhluk tak kasat mata di sana, dan tentu saja, Hinata jadi merasa sedikit kesal.

"Ayo, Kawaki boleh berbaring di samping Ayah," ajak Hinata lembut, mengulurkan tangannya pada Kawaki.

"Nama Bibi ... Hinata, 'kan?" tanya bocah itu dengan kepala yang sedikit dimiringkan. "Bibi yang ada di pesta Shikadai?"

"Iya," sahut Hinata tersenyum kecil. "Ayo, Bibi bantu—"

"Kawaki maunya dengan Bibi Hana saja," ucap Kawaki cempreng sembari memeluk tangan Hana. "Bibi, apa boleh kita tidur di sini malam ini?"

Pertanyaan sederhana itu membuat mata Hinata membelalak terkejut. Baiklah, hubungannya dengan Naruto memang belum sepenuhnya terajut kembali, atau bahkan mengambang tanpa kejelasan.

Akan tetapi, membayangkan Naruto yang notabenenya adalah seorang pria lajang, tidur sekamar bersama seorang wanita pengasuh anak yang jelas-jelas mencintai pria pirang itu ... rasanya sangat mengganggu.

Yang benar saja!

Ia mungkin belum kembali memiliki pria itu secara resmi, tetapi mengingat ajakan Naruto tadi membuatnya memutuskan untuk bertindak tegas.

"Sayang, Bibi Hana harus menyiapkan obat untuk Ayah," kata Hinata setelah memutar otak cepat untuk mencari alasan yang mudah dicerna oleh seorang anak lima tahun. "Kawaki mau Ayah cepat sembuh, 'kan?"

Kepala kecil itu mengangguk pelan.

"Kalau begitu, Ayah harus minum obat, dan obatnya harus disiapkan dulu oleh Bibi Hana," jelas Hinata sembari menarik Kawaki pelan. Tidak ada paksaan darinya, dan tidak ada pula penolakan dari anak itu. "Kawaki tidur dengan Ayah dulu, ya?"

"Tapi Bibi Hana—"

"Jangan khawatir, Bibi akan kembali lagi sebentar," kata Hinata menenangkan sambil menepuk sisi ranjang Naruto yang masih kosong. "Ayo. Kalau Kawaki menjadi anak yang pintar malam ini, Bibi akan memberikan apa pun yang Kawaki mau."

"Anda tidak bisa seenaknya berkata seperti itu," ucap Hana menatap Hinata kesal.

"Kata siapa?" Hinata menoleh, membalas tatapan Hana dengan sebelah alis terangkat. "Kawaki Sayang, tidur sekarang, ya?" bujuk Hinata kembali kepada Kawaki yang terdiam bingung.

Kendati demikian, bocah kecil nan menggemaskan itu kemudian beranjak naik ke atas ranjang, berbaring tepat di sebelah Naruto dan membiarkan Hinata menyelimuti mereka berdua.

"Selamat malam," ucap Hinata sebelum mengambil langkah pergi dan meminta Hana untuk ikut dengannya.

Berkali-kali Hinata menarik napas dan menghembus kasar di sepanjang langkah kakinya menuju sofa ruang tamu milik Naruto. Ia sendiri pun sedang tidak enak badan, tetapi apa yang terjadi padanya tidaklah seburuk yang terjadi pada Naruto, sehingga ia masih bisa berdiri tegap di kedua kakinya sendiri saat ini.

"Anda hanyalah bagian dari masa lalu Pak Naruto."

Suara halus itu membuat Hinata berhenti, bergeming sesaat, lalu berbalik untuk berhadapan secara langsung dengan Hana. "Benar. Lalu kenapa?" sahut Hinata tenang.

"Kalian sudah berpisah sejak lama," sambung Hana tanpa ragu. "Dan sekarang, Anda tiba-tiba ingin kembali ke sisinya?"

Hinata hanya terdiam, tahu bahwa wanita itu belum selesai dengan rentetan kalimatnya.

"Apa Anda masih punya sedikit saja rasa malu?"

Bibir Hinata menipis dongkol. "Percayalah, Hana, saya masih memiliki banyak sekali rasa malu," balasnya berusaha untuk tidak terpancing emosi. "Sampai-sampai saya merasa sangat malu saat kita bertemu untuk yang pertama kalinya di apotek tadi, di mana saya mengira bahwa kau adalah istri dari pria yang baru saja meniduri saya sebulan yang lalu," tambah Hinata jujur, mengenyahkan sapaan formalnya pada wanita itu.

Sedangkan Hana tampak kian kesal usai mendengar fakta yang dibeberkan Hinata. "Kalau begitu, Anda seharusnya malu untuk kembali bersama pria yang sudah Anda tinggalkan di masa lalu. Tidak seperti saya, Anda tidak pernah berada di sisi Pak Naruto selama lima tahun ini," ujar Hana berani. Tatapan matanya tak menunjukkan sedikit pun rasa gentar terhadap Hinata.

"Saya memang tidak sepertimu, Hana," ucap Hinata. "Saya pernah berada di sisi Naruto karena pria itu mencintai saya, begitu juga sebaliknya. Tapi bagaimana denganmu? Kau berada di sisi Naruto karena Naruto membayarmu untuk mengasuh anaknya, dan itu jelas hal yang berbeda." Hinata benar-benar tidak bermaksud untuk menganggap remeh status dan pekerjaan Hana. Hanya saja, ia ingin menekankan kepada wanita itu bahwa mereka adalah dua wanita yang memiliki arti berbeda bagi Naruto.

"Dan saya pikir, kau belum setua itu untuk melupakan apa yang Naruto katakan tadi di mobil," ucap Hinata lagi. "Dia tidak pernah bisa membalas perasaanmu, Hana, dan seharusnya itu sudah cukup jelas menentukan siapa pemenang sebenarnya di sini."

.

.


.


.

Tbc

Remorse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang