Remorse - 8

1.8K 260 74
                                    

.

.

.

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Hinata melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Meskipun ragu, ia tetap menyambangi tempat tersebut setelah mengetahui dari Shikamaru bahwa Kawaki masuk rumah sakit sejak kemarin karena kepala yang terbentur usai insiden rebut-merebut kado dengan Shikadai.

Pantas saja Naruto terlihat amat panik dan melenggang pergi begitu saja.

Untuk sejenak, kekecewaan yang melingkupi Hinata sejak kemarin pun sedikit berkurang. Karena pada kenyataannya, apa pun yang terjadi, bagi seseorang yang telah menjadi orang tua, anak adalah segalanya.

Begitu pula dengan Naruto. Bagi pria itu, Kawaki adalah yang terpenting, dan Hinata memahaminya dengan baik.

Dan sekarang, Hinata hanya ingin memastikan bahwa anak pria yang dicintainya itu baik-baik saja, sehingga apabila dirinya dan Naruto tidak lagi bertemu, Hinata tidak perlu khawatir terhadap keadaan pria itu.

Dan semestinya, Hinata memang tidak perlu khawatir.

Langkahnya yang hendak berbelok ke koridor ruang rawat inap Kawaki pun terhenti saat pandangannya jatuh pada ketiga orang itu. Ia bahkan cepat-cepat berjalan mundur, bersembunyi di balik tembok dan mengamati dalam diam bagaimana perempuan cantik berambut hitam legam bernama Hana itu membersihkan dengan lembut kemeja Naruto yang sepertinya terkena muntahan.

Naruto tidak menolak, ataupun menjauh.

Tentu saja, pikir Hinata getir.

Untuk apa juga Naruto menjauh dari sentuhan istrinya? Toh, mereka berdua sudah pernah saling menyentuh lebih jauh hingga menghadirkan sosok kecil yang kini merengek ingin berpindah ke gendongan Hana.

Hana tampaknya menerima dengan cepat, menggendong Kawaki dan mengusap punggungnya penuh kelembutan guna berusaha menenangkan sikap rewel sang bocah.

Melihat ketiganya berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga kecil nan harmonis membuat hati Hinata berdenyut sakit. Ia sakit hati dan kecewa terhadap dirinya sendiri yang kemarin membiarkan Naruto melakukan kesalahan bersamanya.

Sungguh, apa pun alasan di balik sikap Naruto kemarin, sebanyak apa pun rindu yang dimiliki pria itu untuknya, tidak akan pernah mampu membenarkan pengkhianatan yang Naruto lakukan terhadap istri dan anaknya.

Hal yang sama juga berlaku pada Hinata. Ia sudah seharusnya menahan diri, terlebih mengetahui bahwa pria itu telah berkeluarga.

Tapi apa yang kau lakukan? gumam Hinata gemetar—memukul pelan dadanya yang terasa sesak. Dasar jalang.

Tak mampu berdiri di sana lebih lama lagi, Hinata memacu kakinya untuk berlari—mengurungkan niat untuk bertandang karena melihat Naruto yang baik-baik saja bersama keluarga kecilnya sudah lebih dari cukup.

Dirinya tidak diinginkan di sana. Ia hanyalah kepingan masa lalu yang sudah seharusnya disisihkan sejauh mungkin oleh Naruto. Hinata cukup tahu diri.

Pulang kembali ke apartemen, Hinata menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menangis keras—melampiaskan seluruh emosi yang bergumul di dadanya; sedih, kecewa dan marah, yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

Berani bermain api berarti berani terbakar, bukan? Dan kini Hinata sudah terbakar habis-habisan. Sendirian. Konsekuensi yang sudah sepantasnya.

Aku akan menemuimu lagi nanti.

Saat tangisannya sudah sedikit mereda, kalimat yang diucapkan Naruto kemarin kembali membayang di benaknya. Katanya, pria itu akan datang lagi.

Untuk apa? Untuk yang kesekian kalinya, Hinata bertanya dalam hati. Untuk melanjutkan hubungan gelap ini dan menjadikanku wanita yang jauh lebih rendah lagi?

Hinata jelas menolak.

Oleh karena itu, Hinata cepat-cepat menegapkan diri seraya mengamati seisi kamarnya, sebelum bangun dari ranjang dan bergegas mengeluarkan koper dari lemarinya.

Mungkin untuk saat ini, lebih baik bagi Hinata untuk pergi dari apartemennya yang telah diketahui Naruto. Menghindar adalah satu-satunya jalan agar mereka tidak jatuh lebih jauh lagi ke dalam dosa.

Di saat Hinata tengah sibuk mengepak asal beberapa pakaian dan barang miliknya, pandangan wanita itu jatuh pada sesuatu yang terletak di atas nakas lampu tidur. Ia lalu bergerak ragu dan meraih benda tersebut.

Benda yang dijanjikan oleh Naruto sebelum pergi kemarin, dan benar-benar dikirimkan oleh pria itu pada malam hari melalui ojek online tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Seharusnya, Hinata sudah menenggak dua butir dari obat yang sedang digenggamnya itu. Seharusnya seperti itu. Akan tetapi, sisi lain dari diri Hinata malah mengatakan sebaliknya, apalagi jika mengingat bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan yang dia miliki untuk mendapatkan lagi apa yang pernah hilang dan pergi karena kelalaiannya.

Jika ia memang tidak bisa lagi memiliki Naruto dan harus merelakan pria itu selamanya, maka setidaknya ... Ia bisa memiliki sebagian dari diri pria itu bersamanya. Tentu saja, tanpa sepengetahuan Naruto.

.

.

.

.

Tbc

Remorse ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang