Vio

735 15 4
                                    

Di sini, di sudut kota Pahlawan, aku duduk terdiam. Bersama dengan senja yang selalu mendengarkan cerita-ceritaku tanpa pernah sekalipun menceritakan pada orang lain. Meskipun orang itu adalah dia. Ada beberapa hal yang paling aku senangi di dunia ini; senja, hujan, dan vanilla latte. Tapi dia... dia adalah yang aku cintai. Di antara semua hal yang telah aku sebutkan di atas, dialah yang membuatnya lengkap. Tanpa dia, mungkin senja tak akan seindah ini. Warna pancarannya mungkin tak akan secantik dan menenangkan seperti sekarang ini. Tanpa dia, mungkin hujan adalah hal yang paling buruk. Petir akan bersambaran, mengeluarkan kilatnya yang membuat detak jantungku selalu berdetak lebih cepat dari seharusnya. Tanpa dia, mungkin segelas Starbucks rasa vanilla latte berukuran venti di samping kananku tidak akan seenak ini. Rasanya pasti hambar, pahit, dan tidak membuatku ketagihan.

Tik...tik...tik...

Ah, hujan. Dari mana saja kau? Sudah pukul lime sore dan kau baru datang? Aku sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi. Buru-buru ku tutup buku harianku yang terbasahi oleh tetes-tetes air hujan. Aku menurunkan kaki-kaki jenjangku ke bawah, setelah lama aku mendekapnya. Seakan tak ingin kehilangan sepasang kakiku sendiri. Aku suka berada di sini, di ketinggian gedung yang tak asing lagi bagiku. Rooftop. Dari kecil, aku selalu berkunjung ke sini. Entah itu setiap minggunya atau bahkan setiap hari. Sekedar untuk melepas penat akan sekolahku.

"Vi..." suara itu, suara yang tidak pernah tidak aku dengar tiap hari. Aku tahu, itu dia. Hanya dia yang memanggilku Vio, dan hanya dia yang boleh memanggilku begitu. Di saat teman-temanku dan teman-temannya memanggilku Revina, dialah yang memanggilku dengan nama tengah—Revina Gravioly Azneta.

Aku merasakan kini tubuhku tidak tersentuh oleh tetesan hujan lagi, pasti dia penyebabnya. Payung hitam itu lagi. mengapa dia suka sekali dengan payung hitam itu? aku mendongak untuk memastikan bahwa dialah penyebab semua ini. Dan... great! Ada Zevina di sampingnya, sedang tersenyum menatap dia. Sedangkan dia menatap ke arahku.

Aku menatap dia tidak suka, aku sangat kesal hari ini. Padahal kami berdua sudah berjanji untuk tidak memberi tahu siapapun tentang tempat ini, tempat persembunyianku. Pelarianku.

Tapi... ada satu hal yang aku suka dari dia. Alasan mengapa ia memanggilku Vio, aku menyukai alasannya. Sederhana, dia hanya ingin namaku dengan nama Zevina tidak sama. Memang tidak sama, tapi kebanyakan orang memanggilku Revina. Dan dia ingin sedikit... berbeda.

Aku bangkit dari dudukku, namun gagal. Karena tidak ingin ada orang lain yang melihat kelemahanku, aku langsung berkata "Duluan aja, nanti gue nyusul." Aku masih menatap ke depan. Ke arah matahari yang terbenam. Mengabaikan kedua orang yang kini beranjak pergi. Tapi kurasakan Divo berbalik ke arahku. "Lo nggak apa-apa?" nadanya terdengar khawatir. "Gue masih mau nikmatin ujan." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Kacamataku basah, membuat pemandanganku tidak jelas dihalangi oleh tetes-tetesan air. Aku tersenyum terpaksa.

Tap tap tap

Langkah kaki seseorang terdengar menjauh dari arahku. Tunggu, hanya terdengar sepasang langkah kaki? Ke mana yang sepasang lagi? suara langkah kaki tadi lenyap, mungkin hilang di pintu yang menghubungkan rooftop dengan kedai milik nenekku. Aku tetap berdiam diri. Menikmati rintik-rintik hujan yang mengalir ke tubuhku. Bajuku sudah basah kuyup, namun aku tidak peduli. Seperti anak kecil? Ya, mungkin begitu. Tapi kapan lagi aku bisa menikmati hujan jika banyak tugas sekolah?

Tiba-tiba terdengar sesuatu yang mendekat, tubuhku sedikit menegang. Entahlah, mungkin aku takut.

"Vio, ayo masuk. Nanti lo sakit, gue juga yang ribet." Suara itu sangat terdengar seperti anak kecil yang meminta sebuah balon kepada ibunya. Aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di tubuhku. Itu dia, dia memelukku dari belakang dengan keadaan duduk. Mencoba untuk menghangatkanku dan melindungiku dari hujan. Tubuhku sedikit bergerak, tanganku menyentuh tangannya yang berada di pinggangku. Berusaha untuk melepaskan dekapannya.

Aku dan Senja di Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang