Am I Jealous?

175 8 0
                                    

Hari ini adalah hari kedua semenjak kepergian orang tuaku. Ya, ini hari Senin. Aku sedang berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang menuju keluar gang, mendahului langkah Divo yang sepertinya sedang sibuk dengan handphone-nya. Biar kuberi tahu, mereka pacaran. Ya, Divo dan Zevina akhirnya pacaran! Di satu sisi aku senang karena akhirnya Zevina bisa bersatu dengan orang yang disukainya, tapi di sisi lain aku kasihan juga dengan temanku yang satu itu karena... yah, Divo bilang dia menerimanya dengan alasan tidak tega dan semacamnya. Bukankah itu menyakitkan? Ah, kenapa aku jadi memikirkan permasalahan orang lain?

Aku melanjutkan langkahku, sesekali melompati lubang-lubang lumayan besar yang terisi air hujan. Iya, semalam hujan lagi. aku heran tapi sekaligus senang. Akhir-akhir ini hujan hampir selalu turun, terutama di sore hari.

Pikiranku tiba-tiba melayang lagi, jatuh pada persoalan kertas hasil uji golongan darahku yang kini berada di kantong rokku, dan sedang kupegang erat-erat. Aku baru ingat, alasan mengapa aku pingsan adalah karena Keenan menunjukkan kertas yang hasilnya sama dengan milikku. Tapi, mana mungkin? Di dunia ini, bahkan mungkin di kelasku, banyak muridnya yang mungkin bergolongan darah AB. Tapi, pikiran itu seakan tak mau hilang dari kepalaku, aku harus menyelesaikan masalah ini sepertinya.

"Vio," panggil Divo dan dia segera menyusulku. Aku langsung menoleh kea rah depan lagi setelah melihatnya. Wow, aku tak menyangka bahwa melamun bisa membawaku sampai ke sekolah ini lebih cepat dari biasanya.

"Jangan ngelamun," katanya sok bijak. Padahal dari tadi dia juga hanya bermain handphone. Bahkan sepertinya ia tak mengawasiku, untung saja aku tidak tertabrak.

"Lo kali yang jangan main handphone terus!" sindirku sambil terus melangkah maju melewati gerbang sekolah, keadaan di sekolah sudah ramai, sepertinya sebentar lagi bel akan segera berbunyi.

***

Keenan, aku melihatnya tadi, berjalan melewatiku saat aku dan Divo berhenti sebentar karena tali sepatu Divo yang lepas. Aku tersenyum tipis, tidak kelihatan seperti senyum mungkin. Tapi dia tidak mengacuhkanku, sepertinya sikap awalnya sudah kembali lagi. aku menghembuskan nafasku kasar, ini memang tidak akan pernah berhasil sepertinya. Kami melanjutkan langkah kami lagi menuju kelas, menaiki tangga yang terlihat begitu banyak, sepertinya aku tidak bersemangat hari ini.

Semangatku semakin berkurang lagi saat seseorang memanggil nama kakakku satu-satunya itu disaat kami sedang berbincang pada jam istirahat. Divo meminta izin padaku, aku mengangguk dengan tatapan tidak ikhlas karena aku harus sendirian lagi jika mengizinkannya, karena yang memanggil tadi adalah Zevina. Divo tidak kunjung bergerak dari posisi duduknya sehingga Zevina yang tidak sabaran−sepertinya ia ingin memperkenalkan Divo pada teman-temannya−berlari kecil ke arah kami. Senyumnya merekah, sementara Divo sepertinya bisa melihat raut wajahku tadi yang tidak ingin ditinggal. Tatapan matanya seakan menunjukkan bahwa ia juga tidak tega meninggalkanku.

Hey, aku tidak perlu dikasihani seperti itu!

"Div, kok kamu nggak nyamper sih?" what? Maksudku, ini baru saja hari pertama mereka bertemu di sekolah sebagai sepasang kekasih dan−dan mereka sudah memanggil dengan sebutan aku-kamu? Okay, itu tidak masalah. Tunggu, kenapa aku jadi sensitive begini sih? Ya wajarlah, mereka kan sudah berpacaran.

Divo menatapku untuk kedua kalinya. Aku menelan ludah, aku memang sudah ditakdirkan untuk duduk di taman ini sendirian lagi. seperti waktu itu. aku mengangguk sambil mengiyakan, tanpa basa-basi, Zevina menarik lengan Divo dan membawanya entah kemana. Aku tidak peduli.

"Re," tiba-tiba debuman keras yang entah datang dari mana menghantam jantungku. Rasanya aneh, aku jadi berdebar begini. Padahal dia jarang bicara denganku, baru kemarin, namun aku sudah hafal dengan suaranya. Nadanya sangat aneh saat ia menyebutkan namaku, seperti ada sesuatu yang bernada layaknya nyanyian yang merdu. Aku menoleh, mendapati dirinya dengan senyuman tipis yang belum pernah aku lihat sebelumnya, senyumnya kini berbeda. lebih manis, tapi di sisi lain aku juga bisa melihat ada kesedihan di dalamnya. Getaran itu datang kembali, seperti sebuah setruman yang kuat tiap kali aku berada di dekatnya. Meski jaraknya dua meter.

Aku dan Senja di Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang