Dia Berubah.

174 7 0
                                    

Aroma lemon yang menyegarkan tercium oleh indra penciumanku, membuatku terbangun dari tidurku yang nyenyak semalam. Aku mengucek-ucek mataku, memfokuskan penglihatanku yang tadinya buram dan silau karena sinar matahari yang tanpa izin masuk melewati jendela kamarku yang terbuka. Mataku mencoba untuk memfokuskan objek yang tidak jauh di depanku, mengatur lensanya hingga terlihat jelas siapa atau apa yang ada di depanku. Divo. Dia berdiri sejauh dua meter dariku, dengan handuk yang membalut tubuhnya. Hanya handuk. Mataku yang tadinya masih sipit tiba-tiba terbuka lebar.

"Ngapain lo di sini?!" Nada bicaraku menunjukkan keterkejutan, untuk apa sebenarnya ia berada di kamarku pagi-pagi? Tanyaku pada diri sendiri. Divo menatapku dengan tatapan bingung, seolah mengatakan lo nggak tau kenapa gue ada di sini?

Aku menggeleng pelan, seperti orang sakit yang baru saja sadar dari pingsannya. Divo lalu meresponku dengan menggigit sudut bibir bawahnya sambil menggaruk kepalanya yang sedikit basah, sepertinya dia gugup, terlihat dari ekspresinya. Divo memang suka begitu jika sedang gugup atau tak tahu harus menjawab apa, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahku seakan meminta jawaban, namun tak ada sepatah katapun yang kunjung keluar dari bibirnya.

"Um, itu, semalem kita kan tidur bar-" akhirnya, batinku. Namun mendengar penjelasannya aku langsung menyetopnya dengan kedua tanganku. Tiba-tiba saja badanku tidak terasa lemas lagi terlebih setelah mendengar kalimatnya yang baru sepotong.

Pikiranku seakan melayang ke kejadian yang terjadi sekitar 12 jam yang lalu, atau mungkin kurang? Atau justru lebih dari 12 jam? Entahlah, aku sudah lupa. Tapi aku masih ingat beberapa hal yang terjadi, kami kembali baikan dan sepakat untuk tidak mengungkit hal itu lagi. Dan setelah itu, oh tidak, kuharap dia tak melakukan apa-apa selain tidur satu ranjang denganku.

"Ekhem," dia berdeham, sepertinya mulai sadar dengan fantasi-fantasiku yang terlalu liar. Bahkan untuk remaja berumur 18 tahun sepertiku, "tenang aja, gue cuma tidur doang kok. Lagian juga gue pindah ke bawah pas lo udah nyenyak," lanjutnya lebih memperjelas lagi. Sebenarnya aku tidak mau mendengarnya, namun sudah terlanjur.

"Ter-terus, lo ngapain masih di situ? Sana ke kamar lo sendiri!" perintahku seraya mengisyaratkan dengan kedua tanganku yang seperti sedang mengusir ayam tetangga yang kadang berkeliaran di halaman rumah dan mematuki bunga-bunga kesayangan ibuku.

"Ternyata lo udah sadar ya?" tanyanya sambil menyeringai. Tunggu, apa maksud tatapan itu? Sangat menyebalkan! "Tapi lemot lu belum ilang juga," sambungnya setelah tidak mendapat respon apa-apa dariku. Aku hanya terus menatapnya dengan wajah tak berdosa.

"Maksud lo apa?"

"Ya mana mungkin gue tiba-tiba keluar gitu aja sedangkan gue hanya pake handuk. Punya lo pula, apa yang bakal bunda bilang kalo dia dateng dan berpapasan sama gue sebelum gue masuk kamar? Apa jadinya kalo dia liat gue baru aja keluar dari kamar lo dengan keadaan begini?" cecarnya, tapi semua pemikiran itu memang sangat tepat dan bisa berpotensi sangat besar terjadi. Ibu, atau yang lebih sering kupanggil Bunda, memang hampir setiap pagi mengetuk pintu dan mengajakku sarapan bersama.

"Ya terus harus gim-" omonganku terpotong karena ketukan pintu yang lumayan kencang dari luar pintu kamarku. Mati aku.

"Revina, kamu lagi ngomong sama siapa sayang?" tanya Bunda yang sukses membuat saraf-sarafku menegang. Benar-benar sangat mengejutkan meski aku setiap hari mendengar suaranya.

"Um, lagi ngomong sama temen di telfon Nda!" jawabku sedikit gugup, semoga Bunda tidak mendengar nada bicaraku yang agak bergetar.

"Bunda boleh masuk nggak?" desaknya, sepertinya dia tidak percaya dengan pengakuanku.

"Aku lagi ganti baju Nda, nanti aku nyusul ya!" Divo bernafas lega saat mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari kamarku. Sepertinya Bunda sudah pergi, kulihat Divo yang tadinya hanya membeku di tempat kini mulai berjalan ke kamar mandi.

Aku dan Senja di Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang