Di Lingkaran Yang Sama

247 9 0
                                    

Kejadian itu berlalu dengan sangat cepat, bahkan aku tidak mengingatnya atau sengaja tidak ingin mengingatnya. Divo pergi malam itu, entah kemana. Tapi kami masih bertemu di sekolah pada pagi harinya. Dia menghindariku saat itu, dan bahkan dari kabar yang kutahu Zevina tidak berhenti menangis hingga matanya bengkak saat dia diputuskan secara sepihak dan langsung oleh Divo. Ia tidak terima, tapi Divo juga tidak peduli.

Sekarang di sini lah aku, masih dengan pemandangan yang sama seperti tahun kemarin atau lima tahun sebelumnya. Tidak ada yang berubah dari tempat indah satu ini, namun sayangnya tugas kuliahku yang tak berhenti mengalir membuatku makin sulit menyempatkan waktu untuk sekedar duduk di sini sendirian.

Aku menatapi buku cokelat dengan sampul bertuliskan namaku di sana. Buku itu masih kosong, aku sengaja tidak mengisinya. Malam ini satu tahun lalu, aku menemukan buku ini di laci meja belajar Divo. Di halaman pertama buku ini tertulis surat darinya untukku dan alasan mengapa ia pulang larut malam saat itu. Aku tahu aku berlebihan, tapi aku menangis saat membaca bahwa ia pulang larut malam hanya karena ingin membelikan buku harian yang persis seperti milikku yang terjatuh dulu.

Aku tidak pernah bosan membacanya, bahkan entah ini sudah berapa ratus ribu kali aku membuka dan menatapinya. Tidak ada kenangan lain yang bisa mengingatkanku padanya selain foto-foto kami, surat ini, dan perasaan itu. Ya, perasaan yang ia tularkan padaku kini seperti virus yang menjalari tubuhku. Aku sangat menyesal membiarkan ia pergi dengan keluarga kandungnya dan mengubah nama menjadi Keenan. Tapi kurasa keputusan itu adalah yang terbaik. Aku tak mungkin selalu diiringi rasa bersalah tiap kali melihat bibirnya, bukan?

"Vi," aku mendapati Divo di belakangku, tentu bukan sosok Divo yang dulu. Sekarang senyuman hangat Divo sudah digantikan oleh senyuman dingin milik Keenan. Semuanya berubah, tapi aku harus bisa merelakannya. "Nih, wedang jahe. Nanti masuk angin lho kalo lama-lama di sini."

Tersenyum tipis sambil menerima pemberiannya, hanya itulah yang bisa kulakukan tiap bertatap muka dengan Divo yang 'baru'. Entah bagaimana, aku tidak merasa beruntung memilikinya sebagai kakak kembarku. Aku bahkan merasa, bahwa kami memang tidak akan pernah bersatu. Selamanya.

Divo duduk disampingku, menatap buku yang kupegang dengan tatapan ingin tahu. Ya, dia memang belum tahu soal ini. Kami jarang berbicara atau sekedar mengobrol tentang sekolah. Satu tahun aku habiskan untuk mengurung diri di kamar dan merelakan kepergiannya yang bahkan belum bisa kurelakan hingga detik ini.

Tapi sekarang aku sadar, aku tidak bisa terus seperti itu. Aku harus berkomunikasi dengan orang-orang di dekatku. Merelakan dan bahkan melupakan bahwa ia pernah ada di hidupku selama delapan belas tahun. Kurasa itu sangat konyol, entah seperti apa insidennya saat Divo dan Keenan bisa tertukar di rumah sakit yang sama.

"Nggak bosen ngeliatin buku terus?" Tanya Divo tiba-tiba, membuatku tersadar dari lamunanku sendiri.

"Enggak," jawabku seadanya. Mungkin jika hal seperti ini terjadi satu tahun lalu, saat kami masih di kelas yang sama, saat namanya masih Keenan dan saat perasaan itu belum berganti aku akan merasa berdebar atau bahkan kegirangan dalam hati. Tapi tidak untuk saat ini.

"Lo suka ke sini ya?" ia memulai pembicaraan lagi setelah terjadi jeda beberapa menit. Mungkin sebenarnya Keenan tidak pendiam, hanya belum menemukan orang yang tepat untuk bercerita.

"Iya, tapi ini pertama kalinya setelah satu tahun nggak ke sini."

"Kenapa?" aku berbalik, menatap raut wajahnya agar bisa mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Namun ternyata ia sedang menatap lurus ke depan. "Kenapa baru ke sini lagi?" ulangnya memperjelas.

"Karena... gue sadar gue gak bisa terus mengurung diri di kamar." Keenan tersenyum mendengar jawabanku, senyumnya masih sama–namun perasaanku saja yang sudah berubah.

Aku dan Senja di Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang