Keenan, Gebetanku.

293 8 0
                                    

Hari ini cerah, seperti biasanya. Akhir-akhir bulan Januari memang begini, hujan masih sering datang dan pergi. keadaan di koridor sekolahku lumayan ramai, terisi dengan suara bising dari siswa-siswi yang sedang berbincang. oh ya, aku bersekolah di saah satu sekolah negeri favorit di daerahku. aku suka dengan sekolah ini. bukan karena guru-gurunya, bukan karena cara mengajarnya, dan juga bukan karena pelatih ekstrakulikulernya. tapi karena dia. bukan, tentu saja bukan Divo. ugh, itu semua karena Keenan Putra Rizqie. Haha, sepertinya Rizqie adalah nama belakang ayahnya. Nama yang unik sekaligus alay.

Bruuk!

Divo langsung membantuku mengambil novel yang tadi kubaca, aku sudah berkomat-kamit, mengumpat pada siapapun yang menabrakku. Padahal aku yakin sekali, kok, kalau Divo menuntunku berjalan. Jadi tidak mungkin ini salahku. Tapi, aku langsung bungkam saat melihat orangnya. Menarik kembali semua umpatan yang aku berikan untuknya. Ternyata itu adalah pangeran es dari Timur, oke, aku mulai berlebihan sekarang. Ya, aku memang memanggilnya begitu, untuk diriku sendiri tentunya. Keenan memang terkenal pendiam dan dingin, namun itu bukan bagian paling menyebalkan darinya, karena bagian paling menyebalkannya adalah... dia hanya melakukan itu pada setiap perempuan. tidak pada laki-laki. itu menyebalkan bukan? bahkan teman terdekatnya-Revan-yang juga teman terdekatku bilang bahwa ia juga bersifat dingin pada kakak perempuannya, Alfa.

Aku langsung tersenyum tipis pada Keenan, namun tidak dengannya. Aku mencoba untuk tidak terlihat terlalu senang dan mengontrol diri sebisaku, padahal hatiku sudah melompat kegirangan saat ini.

"Maaf," ucapnya sok dingin. Aku langsung mengangguk kecil, tapi basa-basi lagi ia meninggalkan aku dan juga kakak kembarku. Aku melanjutkan jalanku setelah Divo mengembalikan novel Harry Potter and The Goblet of Fire milikku. Ya, aku sangat tergila-gila dengan cowok british berkacamata bulat itu.

●◎○◎●

Guru itu lagi. Guru sejarah menyebalkan dengan kacamata tebal yang menyangkut di hidung mancung nan tirusnya itu masuk ke dalam kelasku seraya mengucapkan salam. Ia membawa sesuatu di tangannya, semacam kertas penilaian yang diletakkan di papan ujian dengan desain kayu miliknya. Penampilannya sangat formal hari ini, tubuhnya dibalut dengan scarf bermotif bunga membuat gayanya terkesan elegan dan stylish. Ah, mungkin ada guru cogan lagi. Kalian tahu cogan, kan? Iya, sesosok makhluk Tuhan yang tercipta untuk memiliki wajah rupawan. Hm, aku tidak tertarik. Meskipun seringkali banyak guru magang yang ganteng, cuma Keenan yang memenuhi hatiku.

"Hari ini tidak ada pelajaran-" omongannya terpotong karena teriakan para murid yang sudah terlanjur kegirangan. Free time. Itulah yang sudah pasti ada di pikiran mereka saat mendengar tidak ada pelajaran. Aku mendesah panjang. Ah, paling tidak free time. Mana mungkin guru pelit itu mau memberikan waktu berharganya untuk muridnya bermain-main?

"Jangan berteriak! saya belum selesai bicara!" serunya, padahal ia juga berteriak saat marah seperti sekarang. aneh. dia berdeham lalu melanjutkan perkataannya tadi, "Jadi, hari ini kalian akan periksa golongan darah, dan ini gratis. Jadi, ada salah satu klinik di dekat daerah kita yang sedang menawarkan promosi pemeriksaan darah dan lainnya. untuk keterangan lebih lanjutnya akan diberatahukan oleh Pak Arkan." setelah dia ngomong begitu, muncul seorang yang sepertinya adalah dokter. Tubuhnya dibalut kemeja biru muda dan jas putih seperti dokter pada umumnya. kulitnya putih, dia juga berkacamata, namun tidak setebal Bu Indah. Kejadian selanjutnya membosankan, kami semua hanya mendengarnya sampai dokter bernama Arkan itu memanggil kami satu persatu sesuai nomor absen.

Kini giliran Divo, dia berada di urutan 11 setelah Cantika masuk lagi ke dalam kelas. ia kegirangan sendiri karena yang memeriksanya tampan seperti pangeran. begitu katanya. aku hanya memutar bola mata bosan.


Aku mengetuk-ngetukkan jari-jari tangan kananku secara bergantian. Bosan menunggu. Nomor absenku masih sekitar tiga belas nomor lagi. Kulihat Divo balik ke kelas dengan wajah datar, duduk di samping temannya yang bernama Azriel. Aku berbisik pelan ke arah Divo, "Div, golongan darah lo apa?" pertanyaan ini memang kurang, atau bahkan tidak penting. Tapi tidak ada salahnya kan basa-basi dengan kakak sendiri?

Aku dan Senja di Kala HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang